Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Raung, Surono Pun Dibuat Tak Tidur

Kompas.com - 02/11/2012, 19:28 WIB

Oleh Ahmad Arif dan Siwi Yunita

KOMPAS.com - Pukul 04.43, Kamis (1/11/2012), ada pesan singkat dari Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Isinya, gambar anomali suhu Gunung Raung di Banyuwangi, Jawa Timur. Pesan berikutnya, ”Saya nggak tidur. Hari ini langsung dari Bandung ke Surabaya-Banyuwangi-Raung.” Sebegitu kritiskah Gunung Raung?

Saya tidak ingin sejarah buruk masa lalu Raung berulang,” kata Surono. Gunung Raung mungkin tak sepopuler Gunung Merapi di Yogyakarta ataupun Kelud di Kediri. Namun, gunung api berketinggian 3.332 meter dari permukaan laut ini sebenarnya memiliki jejak penghancuran dahsyat.

Sejak dinaikkan statusnya menjadi Siaga pada 22 Oktober 2012, kawah Raung terus menyemburkan asap dan mengeluarkan suara gemuruh. Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Hindrasto mengatakan, erupsi Raung saat ini masih berupa letupan gas, ditandai asap tebal berwarna kehitaman. Asap hitam itu muncul pada Senin (29/10/2012). Menurut Hindrasto, erupsi kecil hanya berdampak di sekitar kawah, 3 kilometer dari puncak Raung.

Karena itu, warga yang jarak tempat tinggalnya dari kawah sekitar 8 km belum diungsikan. ”Untung saja kawah Raung cukup dalam, 500 meter, sehingga letusannya tidak sampai ke luar kawah,” kata Surono.

Namun, Surono memperhitungkan yang terburuk. Gunung Raung, menurut Surono, mempunyai sejarah letusan dahsyat sehingga perlu diwaspadai. Letusan Raung pada 1953 menyebarkan hujan abu dalam radius 200 km. Raung juga melontarkan material berupa pasir dan batu panas setinggi 12 km pada 1958. Untuk memperkuat pemantauan Raung, PVMBG menambah empat alat pantau, yakni dua global positioning system (GPS) dan seismobroadband.

”Debris avalanches”

Berdasarkan Data Dasar Gunung Api Indonesia (2011), Raung tercatat meletus pertama kali pada 1586. Disebutkan, letusan tahun itu sangat dahsyat dan menimbulkan korban jiwa. Namun, tidak disebutkan berapa banyak korbannya.

Pada 1638, Raung kembali meletus hebat disertai banjir besar dan aliran lahar melanda Kali Stail dan Kali Klatak. Korban jiwa mencapai ribuan orang. Saat itu, di kawasan tersebut berdiri Kerajaan Macan Putih di bawah Pangeran Tawangulun. Hingga 1989, terjadi 43 letusan di Gunung Raung.

Geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, mengatakan, Raung memiliki jejak debris avalanches, bahaya lain dari gunung api selain awan panas dan banjir lahar hujan, sebagaimana terjadi di Gunung Galunggung, Jawa Barat. Debris avalanches merupakan produk dari longsornya sebagian tubuh gunung api, terutama karena aktivitas magmatik. Sumbat yang terlalu kuat di puncak gunung menyebabkan magma menjebol sisi lemah di lereng gunung dan melontarkan hingga jauh, membentuk sekelompok bukit kecil (hillocks).

Debris avalanches tak mesti terkait erupsi. Hujan deras atau gempa regional juga dapat memicu longsoran raksasa di lereng gunung api. ”Debris avalanches di Raung karena erupsi yang eksplosif seperti terjadi di Galunggung dan letusan St Hellen, AS, pada 1980,” kata Indyo.

Debris avalanches di Raung yang mencapai 78 km dari kawah merupakan yang terbesar di Indonesia. ”Kalau longsorannya karena hujan atau erupsi freatik, biasanya tak terlalu jauh jangkauannya, seperti Gunung Papandayan,” katanya.

Indyo juga mengatakan, Gunung Raung merupakan bagian dari sistem kaldera raksasa purba. ”Raung berada di pinggir dari sistem kaldera ini,” katanya. Selain Raung, beberapa gunung api aktif lain yang juga berada di pinggir sistem kaldera ini adalah Ijen, Merapi, dan Meranti. ”Sayangnya, pengetahuan kita tentang kawasan kaldera ini masih sedikit,” katanya. ”Namun, melihat karakter gunungnya, letusannya pada masa lalu pasti hebat.”

Mengubur peradaban

Kehebatan letusan Raung pada masa lalu dicatat oleh Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, letusan Raung pada abad ke-18 menyebabkan sisa peradaban Kerajaan Blambangan di Macan Putih, Kabupaten Banyuwangi, dan di Kedawung, Kabupaten Jember, ikut terkubur.

”Peninggalan kerajaan diperkirakan terkubur oleh abu vulkanik Raung dari dua kali letusan. Pada 2010 kami menemukan fondasi bangunan kerajaan, gerabah, tombak, keramik, uang receh, dan sebagainya, terpendam sedalam 1,5 meter di Desa Macan Putih. Hingga kini masih banyak yang belum digali,” kata penulis buku Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan 1763-1813 itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com