JAKARTA, KOMPAS.com — Terdakwa Neneng Sri Wahyuni beserta suaminya, Muhammad Nazaruddin, disebut mendapat keuntungan Rp 2,2 miliar dari proyek pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2008. Informasi mengenai keuntungan proyek PLTS yang mengalir ke Neneng dan Nazaruddin melalui PT Anugerah Nusantara ini terungkap dalam surat dakwaan Neneng yang dibacakan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (1/11/2012).
Selain mengalir ke Neneng dan Nazaruddin, keuntungan proyek PLTS juga mengalir ke sejumlah pihak. Menurut surat dakwaan, uang itu mengalir ke pejabat pembuat komitmen (PPK) Timas Ginting sebesar Rp 77 juta dan 2.000 dollar AS, Direktur Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan Depnakertrans Hardy Benry senilai Rp 5 juta dan 10.000 dollar AS, anggota panitia pengadaan proyek Agus Suwahyono dan Sunarko masing-masing senilai Rp 2.500.000 dan 3.500 dollar AS, Direktur Utama PT Alfindo Nuratama Arifin Ahmad senilai Rp 40 juta, dan mengalir ke Direktur PT Nuratindo Bangun Perkasa sebesar Rp 2,5 juta.
Adapun Timas sudah dinyatakan bersalah dan divonis dua tahun penjara Februari lalu karena dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangannya selaku PPK dalam proyek PLTS. Menurut surat dakwaan, PT Anugerah Nusantara memperoleh keuntungan dari proyek ini dengan menggunakan bendera PT Alfindo Nuratama.
"Muhammad Nazaruddin memerintahkan Marisi Martondang dan Mindo Rosalina Manulang untuk mengikuti kegiatan pengadaan tersebut dengan menggunakan perusahaan PT Alfindo Nuratama, PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Mahkota Negara, dan PT Taruna Bakti perkasa," kata jaksa Burhanuddin.
Terhadap perusahaan yang dipinjam benderanya untuk ikut lelang proyek PLTS itu, Neneng meyampaikan kalau perusahaan akan mendapat fee 0,5 persen dari nilai kontrak apabila menjadi pemenang tender. Setelah itu, Neneng melalui Marisi meminta Timas mengatur hasil evaluasi spesifikasi perusahaan sehingga PT Alfindo layak menjadi pemenang tender proyek. PT Alfindo pun, menurut surat dakwaan, memenangkan proyek PLTS senilai Rp 8,9 miliar itu. Namun, dalam pelaksanaannya, Neneng mengalihkan pekerjaan utama PT Alfindo sebagai pemenang tender proyek kepada PT Sundaya Indonesia dengan nilai kontrak sekitar Rp 5,2 miliar. Adapun selisih nilai proyek dengan nilai kontrak ke PT Sundaya itu dianggap sebagai kerugian negara dalam kasus ini.
Jaksa Burhanudin melanjutkan, pada 2008, PT Alfindo menerima pembayaran dari Depnaker senilai Rp 8,1 miliar yang ditransfer ke rekening pada Bank BRI Cabang Veteran, Jakarta. "Yang mana uang dalam rekening tersebut dikuasai dan dikelola terdakwa (Neneng)," ungkapnya.
Setelah menerima pembayaran, katanya, terdakwa memerintahkan anak buahnya saat itu, Yulianis, untuk melakukan pembayaran secara bertahap kepada PT Sundaya Indonesia sebagai realisasi pengalihan pekerjaan utama pengadaan dan pemasangan PLTS yang seluruhnya Rp 5,2 miliar. Selebihnya, uang diberikan kepada pihak-pihak yang disebut di atas.
Berita terkait dapat diikuti dalam topik:
Neneng dan Dugaan Korupsi PLTS