Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kitong Pu Laut Raja Ampat!

Kompas.com - 18/10/2012, 11:06 WIB
Rini Kustiasih

Penulis

KOMPAS.com — Dari puncak bukit Kris Point, gugusan pulau karang di Teluk Wayag, Raja Ampat, Papua Barat, tampak seperti bidak catur yang diacak. Pulau-pulau itu dikelilingi lautan yang menyimpan 75 persen jenis ikan dan karang di dunia. ”Kitong pu laut Raja Ampat...!”

Abraham Gaman, Ketua Tim Pengarah Yayasan Kalabia, menyerukan kalimat itu sebagai wujud kebanggaan akan kekayaan alam pesisir Papua Barat. Pria itu bersemangat mengantarkan kami, rombongan media, awal Oktober lalu, untuk melihat panorama Raja Ampat. Dengan bangga pula ia mengenalkan aktivitas kapal pendidikan Kalabia.

Dengan bentang alam yang dikelilingi lautan, fasilitas pendidikan di daerah ini lebih sukar dijangkau. Di Pulau Yeflio, misalnya, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Sorong, murid SD kelas I-VI hanya diajar oleh tiga guru. Begitu juga di Pulau Arborek, Raja Ampat. Karena berada di pesisir, sekolah di kawasan itu didirikan dalam bentuk rumah panggung. Siswa duduk lesehan di panggung, sementara ibu guru di depan menyampaikan materi.

Kepala SD Yeflio Maria Raturoma (44) menuturkan, ekonomi masyarakat tidak berjalan meski di sana berdiri Petrochina. ”Belum ada listrik, dan untuk kirim SMS (layanan pesan singkat) warga harus menuju dermaga supaya bisa mendapat sinyal,” kata Maria yang sudah 12 tahun mengajar di sana.

Tidak hanya Petrochina yang mengeksplorasi gas dan menggali untung dari kawasan itu. Ada pelabuhan aspal milik seorang petinggi republik ini. Di Pulau Manoram, menurut Abraham, juga ada perusahaan tambang nikel yang memberikan imbalan Rp 6.000 untuk setiap 1 ton tanah yang ditambang kepada pendapatan asli daerah (PAD) Papua Barat.

”Dari uang PAD itu, Rp 3.000 masuk ke kas daerah dan sisanya untuk tanah adat dan pengembangan masyarakat setempat. Dari uang itu, kami dapat apa?” ujarnya.

Kerisauan Abraham terutama dicurahkan pada bidang pendidikan. Tahun 2006, organisasi non-pemerintahan asing, Conservation International (CI), meneliti Raja Ampat dan mendapati wilayah itu sebagai pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia. Di sana hidup 1.459 ikan karang, 533 spesies karang, 42 spesies udang mantis, serta 16 spesies mamalia laut, termasuk orca, paus sperma, dugong, dan lumba-lumba indopacific.

Ironisnya, di Raja Ampat, pihak asing yang antusias mengadakan program konservasi dan edukasi lingkungan hidup. Dengan kekayaan laut yang banyak, belum ada anak-anak Papua yang mendalami taksonomi biologi laut. Pemahaman soal kelestarian lingkungan laut pun masih terbatas karena sulitnya akses pendidikan. Wajarlah jika Abraham sekali waktu menyinggung minimnya peran Pemerintah Indonesia di kawasan itu.

Benedict Anderson dua dasawarsa lalu menyebut konsep bangsa sebagai komunitas yang terbayangkan (imagined communities). Orang-orang di Papua, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi tidak saling bertemu dan mengerti satu sama lain. Juga tiada ikatan apa pun yang mengharuskan mereka hidup bersama. Namun, mereka mengaku sebagai satu bangsa. Garis imajiner sebagai satu bangsa itu kiranya yang ingin ditebalkan oleh Yayasan Kalabia.

Sejak dioperasikan tahun 2008, kapal pendidikan Kalabia dibiayai oleh CI. Pangeran Albert dari Monako berperan besar mendukung program ini. Ia menggelar lelang bagi penamaan spesies ikan di Raja Ampat tahun 2007. Dari lelang itu diperoleh dana 2,5 juta dollar AS.

”Sebanyak 1,5 juta dollar AS dialokasikan bagi kapal pendidikan Kalabia, 500.000 dollar untuk mendidik ahli kelautan di LIPI dan Universitas Papua, serta 500.000 dollar sisanya bagi operasional CI Indonesia,” kata Alberth Nebore, Dewan Pendiri Yayasan Kalabia.

Kapal dengan panjang 32 meter, berbobot mati 112 ton, dan dioperasikan 8 awak itu berkeliling ke desa-desa di sekitar Kepulauan Raja Ampat selama 20 hari tiap bulan. Sepuluh hari tersisa dipakai untuk merawat kapal dan mengisi bahan bakar. Total ada 134 kampung di Raja Ampat, Sorong, dan Kaimana yang sudah disinggahi Kalabia. Nama Kalabia diambil dari nama lokal hiu endemik di Raja Ampat. Hiu ini disebut juga ”hiu berjalan” (walking shark) karena ia bisa berjalan dengan siripnya.

Di dalam kapal, anak-anak dikenalkan pada tiga ekosistem utama di wilayah pesisir, yakni hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Mereka dibekali buku saku warna oranye yang berisi keterangan soal tiga ekosistem itu. Isi buku itu amat menarik dengan gambar aneka warna. Tiap kampung disinggahi selama tiga hari. Di daratan, petugas dari Kalabia memutarkan film bagi penduduk pulau.

Kapal Kalabia berubah menjadi ”Indonesia” ketika pada Juli 2012 pendanaannya dihentikan CI. Dibentuklah Yayasan Kalabia untuk mencari dana bagi kelanjutan program itu. Oktober ini, PT Pelindo II berkunjung ke Raja Ampat guna survei pendanaan. Diperlukan Rp 21 miliar untuk pembiayaan kapal selama lima tahun.

Respons positif ini terkait dengan rencana Pelindo II membangun pelabuhan di Pulau Teleme, Kabupaten Sorong. Pendanaan Kalabia menjadi bagian dari program kemitraan dan bina lingkungan Pelindo II. Pelabuhan itu ditargetkan beroperasi tahun 2014. Kepala Satuan Kerja Pembangunan Pelabuhan Sorong PT Pelindo II Zuhri Iryansyah mengatakan, pembangunan ini dalam rangka program Pendulum Nusantara, yakni menghubungkan semua pelabuhan di Indonesia. Pembangunan pelabuhan di Sorong ini diharapkan menopang kesejahteraan warga setempat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com