Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serawu Sulo, Tradisi Perang Api Warga Bone

Kompas.com - 08/10/2012, 10:01 WIB
Kontributor Bone, Abdul Haq

Penulis

BONE, KOMPAS.com - Ada tradisi menarik yang dilakukan warga Dusun Tengnga-tengnga, Desa Pongka, Kecamatan Tellu Siattingnge, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dalam memperingati leluhur mereka. Mereka menggelar tradisi perang api atau dikenal dengan "Serawu Sulo". Tradisi ini hanya digelar setiap tiga tahun sekali oleh masyarakat setempat.

Dalam tradisi ini, puluhan warga saling lempar api dengan menggunakan obor berbahan daun kelapa kering yang diikat menyerupai lembing, tak ayal tradisi ini banyak memakan korban luka bakar. Uniknya, meski tradisi ini terkesan ekstrim dan konyol, namun malah menjadi ajang silaturrahmi warga setempat.

Seperti yang terlihat Minggu (7/10/2012) kemarin, sebelum memulai ritual ini terlebih dahulu dua pemuka adat atau "Sandro" yang terdiri dari pria dan wanita melakukan ritual berserah diri atau "Mappangolo". Sementara warga yang akan menjadi peserta perang api membasuh sekujur tubuhnya dengan minyak kelapa muda yang diserahkan oleh tokoh adat.

Hal ini merupakan  hasil dari "Mappangolo". Dengan diiringi arakan ratusan ekor ayam keliling kampung, mereka ingin menyimbolkan perjalanan nenek moyang mereka -- dikenal dengan Mabule Manu". Arak-arakan ini berakhir di lapangan terbuka, untuk memulai tradisi perang api.

Di lapangan terbuka inilah puluhan warga saling serang dengan menggunakan obor disaksikan ribuan warga yang sengaja datang dari berbagai pelosok tempat. Saling lempar api hingga saling membakar lawan disertai sorakan bercampur tabuhan gendang mewarnai tradisi ini.

"Kalau ditanya rasanya yang memang sakit karena kulit melepuh tapi lukanya besok sudah sembuh karena sudah dikasih minyak kelapa tadi oleh Sandro," ujar Lahu, salah seorang peserta perang api yang sekujur tubuhnya nyaris melepuh.

Sejatinya tradisi ini bermula dari nenek moyang mereka yang merupakan penduduk Kabupaten Soppeng. Dahulu kala, mereka mengungsi lantaran tidak sepakat dengan kebijakan salah seorang raja yang memerintah kerajaan Soppeng kala itu. Mereka pun meninggalkan harta kekayaan dan kampung halamannya dengan hanya berbekal sejumlah ekor ternak ayam dengan menggunakan obor sebagai alat penerangan di malam hari.

Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, merekapun menemukan lahan hunian yang kini masuk dalan wilayah Kabupaten Bone. Lahan itu mereka nilai layak untuk dihuni, dan tersembunyi dari kerajaan. Merekapun bersukacita dengan melemparkan obor mereka, sebagai luapan kegembiraan.

Luapan kegembiraan inilah yang terus diperingati oleh anak cucu dari generasi ke generasi hingga sekarang. "Ini hanya cerita turun temurun tidak tahu betul atau tidak karena kisahnya tidak ada secara tertulis tapi memang kami laksanakan di sini selama tiga tahun sekali, konon nenek moyang kami adalah orang Soppeng yang satu kampung dulu mengungsi ke sini karena raja di sana sangat kejam," kata Alimuddin,  Kepala Desa (Kades) setempat.

Sayangnya tradisi yang jika dikelola dengan baik ini mampu menjadi daya tarik pariwisata dan menghasilkan pendapatan, namun tidak mendapat apresiasi dari pemerintah kabupaten setempat. Hal ini terbukti dengan minimnya sarana dan prasarana di desa ini, termasuk akses jalan yang berbatu dan berdebu tanpa pengaspalan.

"Begini terus di sini kampuung tidak pernah diperbaiki. Lihat saja jalanannya kalau musim kemarau begini berdebu dan kalau musim hujan berlumpur untuk baik kalau motor bisa lewat," keluh Ahmad salah seorang warga setempat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com