Pengantar Redaksi
Sejak menjadi Bupati Kebumen (2000-2005), nama Rustriningsih menandai kiprah seorang perempuan dalam dunia politik Indonesia. Dia bukan saja terpilih dua kali, dan kemudian terpilih menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah, mendampingi Gubernur Jateng Bibit Waluyo. Bahkan, ada yang menduga faktor Rustriningsih ini menjadi faktor kemenangan pasangan Bibit-Rustri dalam Pilkada Gubernur Jateng saat itu.
Rustri memang jauh dari kesan seorang politisi ”ibu-ibu” yang sering disematkan kepada perempuan politisi. Kiprahnya yang tegas dan kebijakan-kebijakannya yang transparan menerakan namanya sebagai seorang politisi dan pejabat yang menunjukkan kepiawaiannya memimpin daerah. Ia mengubah kultur birokrasi yang kaku dan membuka keran komunikasi dengan rakyatnya. Kritik dengan data kuat selalu ditanggapi dengan positif.
Bagaimana Ibu Rustriningsih mampu mempertahankan budaya asli Jawa Tengah, dan bagaimana budaya Jateng nantinya di kenal masyarakat kita dan dunia?
(Budi Setiono,
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong terciptanya keguyuban warga Jawa Tengah dalam komunitas kecil di wilayah-wilayah lingkungan desa dan kelurahan hingga tingkat RT. Itu akan berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keguyuban dalam gotong royong suatu masyarakat antara lain tercermin dari atraksi seni dan budaya, sebagai ekspresi kebahagiaan dan keindahan dalam persepsi komunitas untuk melahirkan kearifan lokal.
Ini sebagaimana terdapat dalam atraksi kuda kepang, jathilan, ya qawiyyu, bersih desa, nyadran, pergelaran wayang kulit, ketoprak, rebana, rodad, jamjaneng, dan berbagai bentuk kesenian tradisional lainnya.
Pembangunan berbasis budaya harus didasarkan pada rasa empati, toleransi, dan kepedulian, serta emansipasi warga komunitas untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Konflik sosial yang laten hanya mampu diredakan oleh rasa guyub diantara warga/komunitas.
Jawa Tengah seyogianya diarahkan pada hal-hal tersebut. Agar dunia bisa menyaksikan master piece kebudayaan seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan seutuhnya, ”melihat dengan hati dan mendengar dengan mata”.
Sebagai perempuan aktivis, seorang ibu, pejabat sekaligus politisi, bagaimana Anda membagi waktu untuk tugas memberdayakan perempuan, mengasuh anak, dan mendampingi suami, tugas dinas, dan mengurus partai (berpolitik)?