Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hujan Buatan Bukan Tugas Biasa-biasa Saja

Kompas.com - 01/10/2012, 02:53 WIB

Kita memasuki awan, waspadai guncangan.” Peringatan itu disampaikan pilot Mayor (Pnb) Tio Hutapea saat berada di angkasa. Benar saja, tak lama pesawat bergoyang keras. Rasa mual spontan menyeruak, menyusul kabin yang serasa dikocok-kocok. Bahkan, seorang awak yang berdiri tiba-tiba terjerembab lantaran tak sigap berpegangan.

”Awas, downdraft dan updraft,” seru kopilot Letnan Satu (Pnb) Deharday Nugraha Gaffar. Peringatan itu untuk memberi tahu awak bahwa pesawat bakal naik-turun dengan hebat. Meski demikian, Tio dan Deharday tetap konsentrasi menatap lurus ke jendela kokpit.

Setelah sekitar 10 menit mengarungi awan di langit Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (27/9), guncangan mereda. Tio dan Deharday memutuskan kembali ke Bandar Udara (Bandara) Tjilik Riwut, Palangkaraya. Seusai mendarat, hujan menyambut mereka. Wajah Tio menengadah ke langit dengan raut puas.

”Sudah hujan. Ada hasil yang dirasakan. Berarti misi dilaksanakan dengan baik,” ucap Komandan Skuadron Udara 4 Malang itu senang. Sejak 28 Agustus 2012, berbagai instansi terkait bekerja sama melaksanakan hujan buatan di Kalteng selama 40 hari.

Kekurangan oksigen

Selain TNI Angkatan Udara (AU), penyemaian hujan buatan antara lain didukung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalteng, serta Pemerintah Provinsi Kalteng. Guncangan, rasa mual, dan kru yang terjatuh tadi adalah gambaran bahwa membuat hujan buatan bukanlah tugas biasa saja. Meski aktivitas itu demi kepentingan sipil dan dilakukan personel militer, hujan buatan menjadi tantangan yang berat.

Pesawat, misalnya, mengangkasa hingga ketinggian 14.000 kaki. Sudah tentu oksigen sangat tipis karena ambang batas ketinggian yang normal untuk penerbangan oksigen adalah 10.000 kaki. Penerbangan biasa umumnya terbang paling tinggi 12.000 kaki.

Hipoksia atau kekurangan oksigen akibat pengaruh perbedaan ketinggian bisa muncul. Saat mengangkasa, dua kru sudah mengaku pusing. Beberapa awak tampak bernapas dari tabung oksigen. Tahun 2011, seorang staf lokal bahkan tak kuasa menahan muntah hingga tiga kali.

Pada penerbangan lain, Jumat (28/9), pesawat berguncang hebat karena memasuki ruang hampa udara atau turbulensi. Hampir semua awak pesawat terlempar. Energi yang besar di dalam awan membuat pesawat mengalami downdraft sehingga turun secara tiba-tiba. Bahkan, kru yang sedang duduk ikut terhempas.

”Awan yang cocok untuk dijadikan hujan adalah kumulus. Awan itu justru tergolong berbahaya. Kumulus adalah awan yang bisa menimbulkan petir,” kata Deharday. Biasanya, pesawat menghindari awan demi keamanan. Pesawat hujan buatan sebaliknya, malah mencari awan dan menabraknya.

”Padahal, dalam awan itu ada turbulensi dan partikel listrik. Kondisi dalam awan juga bisa menimbulkan medan magnet yang bisa mengganggu peralatan pesawat,” papar Deharday.

Meski sudah punya jam terbang tinggi, pilot pesawat untuk hujan buatan harus tetap waspada. Tio, misalnya, sudah menjalani berbagai misi di berbagai daerah, antara lain perbatasan dengan Papua Niugini, Malaysia, dan Timor Leste, serta darurat militer di Aceh.

Alumnus Akademi TNI AU tahun 1996 itu sudah menjadi pilot sejak akhir tahun 1998 dan memiliki sekitar 7.000 jam terbang, tetapi ia tetap berhati-hati. Lantaran tergolong berbahaya, mereka yang mengemudikan pesawat pembuat hujan adalah pilot dengan fisik lebih prima dibandingkan rata-rata.

”Apalagi pesawatnya termasuk kecil. Pesawat yang digunakan yakni Cassa 212-200 bermesin baling-baling dengan tipe unpressurized,” tutur Tio.

Di tengah situasi yang membuat stamina tidak keruan, kru terlihat tetap bekerja. Pilot menggenggam erat kemudi. Penabur garam menumpahkan bahan semai ke wadah khusus yang tersambung dengan saluran keluar pesawat. Demikian pula staf BPPT yang tetap memantau awan.

Jumlah personel TNI yang bertugas sebanyak 12 orang dengan empat pilot dan lainnya adalah teknisi, pembantu, serta pencuci pesawat. Selain Kalteng, rekan mereka dari TNI Angkatan Darat (AD) juga menerbangkan pesawat penyemai hujan buatan di Jambi untuk satu lokasi, dan BPPT di Riau untuk dua lokasi.

Koordinator Pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Budi Harsoyo mengatakan, sudah sejak hujan buatan dimulai staf BPPT bersama TNI AU terus bekerja. ”Ada 10 pegawai BPPT. Tidak diganti-ganti. Koordinator bisa bergiliran bekerja menangani posko yang berlainan, tapi tetap tak pernah libur,” ujarnya.

Di Riau, hujan buatan bahkan sudah digelar sejak 13 Agustus 2012. Selanjutnya, hujan buatan direncanakan berlangsung di Sumatera Selatan meski waktunya belum dipastikan. Budi bahkan mendengar kemungkinan hujan buatan di Kalteng akan diperpanjang hingga 18 Oktober 2012.

Pada Hari Pangan se-Dunia Tingkat Nasional di Palangkaraya itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana hadir. Pemprov Kalteng telah mengajukan permintaan kepada BNPB. ”Tergantung, apakah BNPB akan memberikan instruksi melanjutkan hujan buatan atau tidak,” kata Budi.

Soal penugasan nonstop, pegawai BPPT sudah terbiasa. Meski hari Minggu atau libur nasional, mereka tetap datang ke Posko TMC. ”Tapi, tahun lalu tidak sampai empat lokasi sekaligus. Dampak psikologinya tetap terasa juga, tapi kami tetap bekerja,” ujar Budi.

Demikian pula dengan Tio dan rekan-rekannya yang tetap menikmati tugas agar perekonomian, terutama aktivitas bandara, tak terhambat. Jika tidak, gangguan pengiriman barang, tertundanya kunjungan pejabat, hingga infeksi saluran pernapasan atas bisa terjadi.

”Kami tetap enjoy menjalankan misi hujan buatan. Kalau satu atau dua hari saja tidak terbang rasanya ada yang kurang,” papar Tio sambil tersenyum. (Dwi Bayu Radius)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com