Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha: Upah Buruh Jadi Komoditas Politik

Kompas.com - 13/09/2012, 21:04 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan upah buruh seakan tak pernah usai. Pada akhir September mendatang, buruh akan melakukan aksi mogok massal menuntut kesejahteraan buruh. Pengusaha pun tak bisa berbuat banyak.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengeluhkan persoalan upah buruh selama ini menjadi komoditas politik para pejabat. Ia mencontohkan di beberapa daerah, kepala daerah yang akan kembali maju dalam Pilkada menaikkan upah buruh tanpa dasar hanya untuk meningkatkan popularitasnya.

"Tahun lalu kami ada masalah dipicu oleh Bupati Bekasi terkait pilkada. Dewan pengupahan di daerah, upah buruh dinaikkan. Kami masukkan ke PTUN, buruh meledak dan merasa perusahaan tidak membantu," kata Sofyan, pada acara koordinasi Polda Metro Jaya dan Apindo terkait aksi mogok massal di Mapolda Metro Jaya, Kamis (13/9/2012).

Setelah itu, sebut Sofjan, para buruh memaksa para pengusaha di Bekasi dan Karawang untuk menandatangani kesepakatan terkait upah buruh, outsourcing, dan jaminan sosial. Menurutnya, tidak semua perusahaan bisa dan mampu memenuhi semua tuntutan buruh. Hal ini karena sebagian besar perusahaan yang tergabung dalam Apindo adalah usaha kecil dan menengah (UKM).

Selain itu, upah buruh terkadang ditetapkan secara sporadis oleh Bupati dan Gubernur setempat. Padahal, lanjut Sofjan, sudah ada Dewan Upah yang seharusnya mengkaji persoalan upah ini.

"Di dalam undang-undang menyatakan upah ditentukan bukan oleh oleh bupai atau gubernur. Yang mengganggu ini bupati untuk jadi Gubernur dia pakai isu ini jadi alat supaya populer dan buruh memilih dia," ujar Sofjan.

Dikatakannya, wilayah yang paling rawan aksi penentangan buruh ada di kawasan Jakarta, Bekasi, dan Banten. Jika ada salah satu kawasan berhasil menaikkan upahnya, maka buruh-buruh di daerah lain akan menuntut kenaikan serupa.

Sementara persoalan outsourcing, Sofjan mengatakan perusahaan juga sebenarnya tidak menyukai sistem ini karena mereka rugi melepas pekerja yang sudah ditrainning. Namun, untuk beberapa bidang pekerjaan tertentu, pengusaha merasa jika pegawai yang malas diangkat sebagai karyawan justru akan merugikan perusahaan.

"Kalau dia diangkat jadi karyawan, setelah itu dia malas atau pun ada tidak baik perilakunya, perusahaan lagi yang rugi untuk memecatnya. Uang pesangon bahkan bisa mencapai 32 kali gajinya, kaburlah pengusaha kalau begini caranya," kata Sofjan.

Kendati polemik buruh ini terus bergulir, Sofjan sepakat perlunya dialog tripartit antara pengusaha, pemerintah, dan juga buruh. Sofjan meminta agar perwakilan buruh yang diajak berdialog bisa dihormati teman-temannya yang lain sehingga kesepakatan bisa dijalankan oleh semua pihak.

Sedangkan terkait aksi mogok massal yang akan dilakukan akhir September ini, Sofjan mengaku pengusaha tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Tetapi, Sofjan meminta agar aparat kepolisian menjadi garda terdepan untuk melakukan pengamanan setiap aksi protes yang ada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com