Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Semua Dibuang ke Lautan...

Kompas.com - 13/09/2012, 02:55 WIB

Oleh Ingki Rinaldi

Setiap hari, tidak kurang dari 500 ton sampah dibuang warga Kota Padang, Sumatera Barat. Dari jumlah itu, antara 20 persen dan 30 persennya melewati saluran pembuangan air, sungai, yang semuanya bermuara ke laut. Sebagian besar sampah itu merupakan benda yang sulit terurai.

Dari 100 ton sampah yang masuk ke laut itu, hingga 60 persennya atau sekitar 60 ton merupakan sampah nonorganik. Sampah jenis ini tidak bisa terurai secara alami, seperti plastik dan pembungkus berbahan styrofoam.

Sebanyak 60 ton sampah yang bermuara ke perairan di wilayah Kota Padang itu baru yang berasal dari daratan saja. Jumlah itu belum ditambah sampah yang dibuang dari atas kapal dan beberapa lokasi pekerjaan di atas perairan seperti tambak keramba jaring apung.

Sampah-sampah domestik itu tidak berhenti begitu saja di mulut muara. Sesuai dengan arah arus dan gelombang laut, sampah-sampah tadi terus berkelana. Sebagian mengendap di kawasan perairan dan pulau-pulau kecil yang masuk wilayah Kota Padang.

Hal itu pernah Kompas temukan saat menyelam di Pulau Pasumpahan, Kota Padang. Pada kedalaman sekitar 18 meter, beragam sampah domestik mengendap di dasar pulau dengan substrat pasir. Jenis-jenis sampah yang terlihat seperti plastik pembungkus makanan, popok bayi, hingga helm pengendara sepeda motor yang terlihat pada bagian yang lebih dangkal.

Demikian pula ketika pengamatan dilakukan di kawasan perairan Teluk Buo, Kota Padang. Pembungkus mi instan dan wadah bekas air mineral terlihat mengambang di lokasi perairan tersebut.

Slamet Sareko (45), salah seorang nelayan di Kelurahan Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat, mengatakan, tumpukan sampah di bibir muara sudah jadi pemandangan rutin setiap kali arus sungai menderas. Kondisi itu terjadi bila turun hujan di bagian hulu yang membuat aliran sungai ke muara cenderung makin deras.

Di lokasi yang berdekatan dengan Pelabuhan Muaro, Kota Padang, itu, imbuh Slamet, sering kali nelayan mendapati kerugian saat menjaring ikan. ”Karena jaring yang baru kita gunakan akan tersangkut pada lautan sampah. Sering kali jaring yang baru satu kali dipakai sudah harus dibuang karena rusak tersangkut sampah,” katanya.

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta, Padang, Harfiandri Damanhuri, mengatakan, penelitian yang dikukannya pada sejumlah nelayan di Kota Padang juga menghasilkan temuan yang mirip. Nelayan yang mencari ikan dengan cara maelo pukek (menghela pukat) dari darat itu kerap kali hanya mendapatkan tumpukan sampah ketika pukat telat sampai seluruhnya di daratan.

Kapasitas terbatas

Direktur Bank Sampah Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Bung Hatta, Padang, Yulcherlina MT mengatakan, dari 500 ton produksi sampah tersebut, baru 44 persen yang dikelola di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Aie Dingin, Kota Padang. Sisanya, selain masuk ke dalam laut, dibakar, atau dipendam dalam tanah oleh warga secara mandiri.

Perilaku buang sampah sembarangan menjadi penyebab sampah terakumulasi sedemikian banyak ke dalam lautan. Selain lewat selokan atau sungai, sampah juga dibuang sembarangan di sejumlah sudut kota.

Ketika banjir atau genangan air terjadi saat musim hujan, sampah-sampah yang berserakan akan dibawa arus air menuju sungai, saluran banjir kanal, dan sebagainya. Semua itu akan bermuara ke laut.

Yulcherlina menambahkan, akumulasi jumlah sampah menuju laut itu di antaranya karena sebagian besar wilayah pesisir di Kota Padang belum terlayani oleh petugas kebersihan yang dipekerjakan pemerintah. Dari 11 kecamatan di Kota Padang, praktis baru delapan kecamatan yang terlayani.

Adapun di wilayah tengah kota, tempat pembuangan sementara (TPS) juga relatif tidak mencukupi. Dari idealnya satu TPS per 200 meter, saat ini jaraknya bisa terentang lebih dari tiga kilometer.

Jumlah truk pengangkut sampah juga terbatas. Dari jumlah ideal sekitar 150 unit, saat ini baru terdapat 63 unit. Dari jumlah itu pun tidak semuanya laik dipergunakan.

Sekretaris PSLH Universitas Bung Hatta, Padang, Dr Reni Desmiarti menambahkan, perhitungan jumlah 500 ton produksi sampah per hari di Kota Padang berdasarkan hitungan per orang. ”Setiap orang di Kota Padang menghasilkan antara 1,25 dan 0,5 kilogram sampah setiap hari. Dengan perhitungan moderat sekitar 0,35 kilogram sampah per hari, didapatkanlah angka 500 ton per hari,” katanya.

Sementara di TPA Air Dingin dengan luas 30,3 hektar, Reni mengatakan, pengolahan yang dilakukan juga masih konvensional dengan manajemen open dumping. Jika pengelolaan masih dilakukan dengan cara demikian, sekitar 10 tahun lagi diperkirakan TPA itu tidak akan sanggup lagi menampung sampah.

Masalah dunia

Sementara pengelolaan sampah di daratan belum juga berkesudahan, sampah-sampah yang menuju lautan seperti tidak pernah menemui jalan akhir. Organisasi pencinta lingkungan hidup Greenpeace mengingatkan soal pentingnya memperhatikan isu sampah di laut yang setiap hari membesar ini.

Dalam artikel berjudul ”The Trash Vortex” yang dipublikasikan di laman greenpeace.org, Greenpeace menyebutkan saat ini terdapat pusaran sampah di perairan Pasifik Utara. Pusaran sampah itu demikian besarnya hingga diperkirakan sudah seluas Negara Bagian Texas di Amerika Serikat. Disebut sebagai the trash vortex (pusaran sampah) karena sampah-sampah itu berputar secara perlahan mengikuti perputaran arus.

Pusaran sampah yang juga disebut sebagai ”The Asian Trash Trail” dan ”Eastern Garbage Patch” itu merupakan akumulasi sampah-sampah yang tidak terurai secara alami. Sampah- sampah itu didominasi plastik yang selama waktu tertentu berubah menjadi serpihan-serpihan kecil.

Serpihan-serpihan plastik ini sering kali dianggap makanan oleh biota laut seperti ikan, penyu, dan burung laut.

Sejumlah kasus kematian biota laut akibat mengonsumsi sampah kerap dilaporkan. Selain itu, sampah yang mengapung disebutkan bisa menjadi agen bagi biota laut di kawasan tertentu untuk membonceng ke kawasan lain dan mengganggu kestabilan ekosistem.

Selain itu, sekitar 70 persen jenis plastik yang dapat tenggelam juga memiliki ancaman yang tak kalah serius. Sampah-sampah tersebut bisa menutupi dasar laut dan membunuh biota laut yang hidup.

Tim Sosialisasi PSLH Universitas Bung Hatta, Padang, Salman Assahary mengatakan, kebiasaan buang sampah sembarangan yang masih dilakukan sebagian masyarakat memang kontradiktif.

Salman yang melakukan penelitian khusus tentang hal itu mengatakan, perilaku buang sampah sembarangan yang ditemukannya di Kota Padang tidak terbatas pada strata sosial ekonomi. ”Karena ada penumpang mobil mewah membuang sampah di tengah jalan, ini kan soal sikap,” katanya.

Sementara perilaku buang sampah sembarangan di kalangan ekonomi menengah ke bawah lebih dipengaruhi ketiadaan atau minimnya akses informasi. ”Terkadang, masyarakat juga enggan membuang sampah pada tempatnya,” ujarnya.

Akses pada informasi yang belum tersosialisasi baik ini menjadi kunci pemahaman masyarakat yang terus membuang sampah sembarangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com