Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saatnya Prokedelai Indonesia

Kompas.com - 31/07/2012, 02:31 WIB

Oleh YUNI IKAWATI

Karena sangat bergantung pada kedelai impor, Indonesia kini terkena akibatnya. Bukan hanya harganya mahal, kekurangan pasokan kedelai juga bakal memukul perajin. Sudah saatnya Indonesia mengembangkan budidaya kedelai lokal.

Masyarakat Indonesia telanjur bergantung pada kedelai sebagai bahan baku tempe, tahu, dan kecap yang menjadi makanan masyarakat luas.

Ketergantungan ini melemahkan ketahanan pangan kita. Kedelai merupakan tanaman subtropis. Meski demikian, pendekatan teknologi memungkinkan dihasilkan varietas kedelai yang tumbuh di daerah tropis, bahkan di lahan kering dan masam.

Penelitian kedelai untuk menghasilkan varietas unggul telah lama dilakukan di Indonesia, bahkan sejak masa kolonial Belanda. Riset selama lebih dari 90 tahun menghasilkan 72 varietas kedelai dengan keunggulan masing-masing. Sebanyak 56 varietas dihasilkan Kementerian Pertanian. Sisanya dihasilkan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Jember, dan Universitas Jambi.

Varietas kedelai itu telah dibudidayakan petani di sejumlah daerah, mulai dari Aceh, Medan, Jambi, Riau, Majalengka, Jember, Banyuwangi, Maros, hingga Gorontalo. Panen terbanyak di Banyuwangi, 500 ton. Jumlah itu didapat dari budidaya kedelai varietas Baluran dari Universitas Jember dan varietas Mitani dari Batan. Menurut Ruslan, Kepala Pusat Diseminasi Iptek Nuklir (PATIR) Batan, petani panen 2,8 ton per hektar di lahan seluas 400 hektar.

Teknik pemuliaan

Varietas unggulan dihasilkan dengan pemuliaan tanaman, yaitu mengubah susunan dan mutu genetik tanaman dengan beragam teknik hingga dihasilkan varietas dengan sifat lebih baik.

Teknik yang banyak digunakan adalah persilangan (hibridisasi). Dari varietas yang dilepas, 35 varietas di antaranya merupakan hasil persilangan.

Selain itu, dikembangkan pula teknik mutasi (mengubah genetik tanaman). Hal itu dilakukan dengan memberi bahan pengubah (mutagen) dari unsur kimia atau fisika.

Mutagen kimia dipilih yang memiliki gugus alkil, seperti etil metan sulfonat (EMS) dan metil metan sulfonat (MMS). Mutagen fisika berupa radiasi nuklir sinar beta dan gamma.

Proses penyinaran menimbulkan ionisasi yang mengurai molekul sehingga mengganggu proses pembelahan sel dan berefek fisiologis. Perlakuan ini menghasilkan variasi genetik baru dan diwariskan pada generasi berikutnya.

Dari variasi yang muncul, kemudian dipilih yang memiliki sifat yang diinginkan. Mutasi bertujuan mendapatkan varietas unggul berproduktivitas tinggi, umur genjah, tahan hama, dan toleran terhadap cekaman abiotik (salinitas/kadar garam tinggi, kering, dan masam).

Aplikasi nuklir untuk teknik mutasi kedelai dirintis di PATIR Batan sejak 1980. Untuk memperbaiki sifat varietas terdahulu dilakukan teknik iradiasi (atau meradiasi obyek pada satu fokus) pada benih kedelai varietas lama, yaitu Orba dan Guntur. Iradiasi menggunakan sinar gamma Cobalt 60 dengan dosis radiasi 150 Gray, kata pemulia kedelai di PATIR Batan, Harry Is Mulyana.

Dari iradiasi itu dihasilkan varietas Muria, Tengger, dan Meratus yang lebih produktif, yakni 1,4-1,8 ton per hektar dan tahan penyakit karat daun (Phakospora pachirhyzi Syd). Hasil penelitian ini dilepas ke petani pada 1987, 1991, dan 1998.

Setelah itu dihasilkan Rajabasa pada tahun 2004, yang produktivitasnya 2,05 ton per hektar, berbiji besar, serta toleran di lahan kering dan masam. Pada tahun 2008, keluar varietas Mitani yang tahan hama Aphis dan berprotein tinggi. Dua varietas ini paling banyak dibudidayakan petani, ungkap Harry.

Penelitian Batan belakangan ini lebih diarahkan untuk memperbaiki kualitas dan ukuran biji, meningkatkan kandungan gizi untuk memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Varietas biji besar yang dihasilkan tahun 2010 adalah Mutiara 1. Varietas ini banyak diminati perajin tahu. Kedelai superbesar ini berbobot 23,3 gram per 100 biji melebihi kedelai Amerika yang berbobot 18 gram per 100 biji.

”Batan tahun ini akan melepas varietas supergenjah yang bisa dipanen setelah 65 hari. Selama ini kedelai paling cepat dipanen setelah 70 hari,” kata Sobrizal, Kepala Bidang Pertanian Batan.

Masalah nonteknis

Melihat hasil riset tersebut, Indonesia tidak kalah dengan negara lain. Namun, yang menjadi kendala adalah masalah nonteknis.

”Saat ini produktivitas kedelai nasional hanya sekitar 800.000 ton. Padahal, kebutuhan 2,5 juta ton. Produk kedelai dalam negeri juga terus menurun karena konversi lahan,” kata Harry.

Untuk mengatasi masalah itu, menurut Harry, perlu penanaman kedelai di lahan marjinal, termasuk yang berkadar garam tinggi dan masam. Di Indonesia ada hampir 30 juta tanah berkategori itu.

Untuk budidaya di lahan tak subur tersedia 16 varietas kedelai yang tahan tumbuh di lahan kering dan enam varietas kedelai untuk lahan masam. Di antaranya varietas Tanggamus yang berbiji sedang.

” Selain perluasan lahan, diperlukan pula pembenahan sistem pertanian hingga perdagangan kedelai dan upaya pemberdayaan petani, termasuk pemberian kredit usaha tani,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com