Oleh YUNI IKAWATI
Karena sangat bergantung pada kedelai impor, Indonesia kini terkena akibatnya. Bukan hanya harganya mahal, kekurangan pasokan kedelai juga bakal memukul perajin. Sudah saatnya Indonesia mengembangkan budidaya kedelai lokal.
Masyarakat Indonesia telanjur bergantung pada kedelai sebagai bahan baku tempe, tahu, dan kecap yang menjadi makanan masyarakat luas.
Ketergantungan ini melemahkan ketahanan pangan kita. Kedelai merupakan tanaman subtropis. Meski demikian, pendekatan teknologi memungkinkan dihasilkan varietas kedelai yang tumbuh di daerah tropis, bahkan di lahan kering dan masam.
Penelitian kedelai untuk menghasilkan varietas unggul telah lama dilakukan di Indonesia, bahkan sejak masa kolonial Belanda. Riset selama lebih dari 90 tahun menghasilkan 72 varietas kedelai dengan keunggulan masing-masing. Sebanyak 56 varietas dihasilkan Kementerian Pertanian. Sisanya dihasilkan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Jember, dan Universitas Jambi.
Varietas kedelai itu telah dibudidayakan petani di sejumlah daerah, mulai dari Aceh, Medan, Jambi, Riau, Majalengka, Jember, Banyuwangi, Maros, hingga Gorontalo. Panen terbanyak di Banyuwangi, 500 ton. Jumlah itu didapat dari budidaya kedelai varietas Baluran dari Universitas Jember dan varietas Mitani dari Batan. Menurut Ruslan, Kepala Pusat Diseminasi Iptek Nuklir (PATIR) Batan, petani panen 2,8 ton per hektar di lahan seluas 400 hektar.
Varietas unggulan dihasilkan dengan pemuliaan tanaman,
Teknik yang banyak digunakan adalah persilangan (hibridisasi). Dari varietas yang dilepas, 35 varietas di antaranya merupakan hasil persilangan.
Selain itu, dikembangkan pula teknik mutasi (mengubah genetik tanaman). Hal itu dilakukan dengan memberi bahan pengubah (mutagen) dari unsur kimia atau fisika.