Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Tambur Raksasa di Museum Paris!

Kompas.com - 24/07/2012, 07:47 WIB

KOMPAS.com - Tambur raksasa, alat musik peninggalan dari Sumatera abad keempat sebelum masehi. Kain sarung batik asal Jawa Timur dari tahun 1900. Pakaian adat Asmat awal abad sembilan belas. Patung batu hasil perajin Lombok. Patung ukiran kayu asal pulau Tanimbar, Maluku, hingga perhiasan peninggalan budaya dari Poso, Jawa dan seluruh penjuru tanah air lainnya, di museum Quai Branly, Perancis. Di museum inilah saya bisa menikmati sebanyak 218 benda budaya Indonesia yang begitu indah tertata.

Tahun 2007, tujuh bulan setelah dibukanya museum ini, saya dan Kang Dadang (David), pernah mengunjunginya bersama si sulung Adam, sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketujuh. Adam yang saat itu pengagum besar karya seni seperti ayahnya terlihat girang bisa menikmati begitu banyak peninggalan budaya, dari berbagai negara. Dan tentu saja, salah satu alasan kami memilih museum yang berada Paris itu untuk anak kami, karena mendengar kabar mengenai dipajangnya benda berharga peninggalan leluhur dari sisi ibunya.

Dan lima tahun kemudian, ketika saya memutuskan kembali ke museum hasil gagasan mantan Presiden Perancis, Jacques Chirac yang juga diresmikan olehnya pada tahun 2006 itu, tetap saja kenikmatan tersebut saya rasakan. Kritik negatif yang pernah saya dengar mengenai arsitek dari bangunan tersebut tak bisa menghentikan langkah saya untuk menikmati kekayaan dari sejarah dibalik setiap benda yang terpajang.

Gedung museum seluas 40.600 meter persegi dengan koleksi terpajang untuk umum sebanyak 3.500 dan sejumlah 300.000 benda berharga masih tersimpan, terdiri dari beberapa bagian, tergantung kepada benda seni itu berasal. Koleksi yang terpajang, adalah berasal dari Afrika, Asia, Oceania dan Amerika.

Setiap benua, memiliki ruangan tersendiri dengan penataan cahaya dan cara memasangnya yang begitu apik, kadang diiringi oleh alunan musik khas daerah itu, semakin menambah khusus menyerapi setiap rinci dari kekayaan suatu benda.

Bagaimana cara menuju ke museum tersebut. Paling mudah memang menggunakan metro, jika tujuannya hanya ke sana. Tapi seperti yang saya pernah tuliskan dalam cerita saya beberapa waktu yang lalu, yaitu pesiar di Paris dengan Batobus. Nah perahu pariwisata ini salah satu pemberhentiannya adalah, Champs-Elysées.

Bila kita kuat berjalan, dari sana bisa berjalan santai menuju pont d’Alma (jembatan Alma) hingga ke Quai Branly, perjalanan dengan kaki yang cukup menyenangkan.

Atau sekalian saja berhenti di menara Eiffel. Setelah kepala dibuat pegal mendongak mengagumi arsitek karya Gustave Eiffel, ajaklah kaki kembali melangkah berdansa menikmati kota mode itu hingga pemberhentian museum Branly.

Bagian depan museum ini sangat unik bagi saya. Mengapa? Karena, dari luar gedung berkaca ini seolah memiliki topi tour Eiffel. Belum juga tubuh para pengunjung dibawa masuk menjelajahi sejarah budaya ke dalam bangunan museum, mereka sudah sibuk mengabadikan paduan antara bangunan berkaca dengan menara besi menjulang.

Saat memasuki museum itu, pandangan mata yaitu kehijauan taman. Bila antrean panjang, silakan berjalan-jalan menikmati terlebih dahulu  taman musim. Taman yang ditata khusus dengan iklim Paris oleh ahli tanaman Gilles Clément, terdiri dari sekitar 169 jenis tanaman. Dirawat secara alami tanpa menggunakan bahan kimia. Banyak tanaman yang dibiarkan hidup secara bebas, karena itu dinamakan juga sebagai taman sabana. Padang dipenuhi oleh semak perdu dan diselingi oleh beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar secara liar.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah tembok sepanjang 800 meter yang dipenuhi oleh sekitar 15.000 tanaman dari 150 jenis tumbuhan berbeda dari penujuru dunia. Membuat dinding tersebut bagaikan sebuah tembok vegetal. Semua serba hijau, yang lucunya, karya vegetal serba hijau ini memang olahan dari seorang ahli botani yang nyentrik, Patrick Blanc, karena rambutnya yang selalu dicat hijau.

Biaya masuk ke museum ini juga sangat adil. Bagi para pengajar, pelajar dibawah usia delapan belas tahun, bekas prajurit perang, pengangguran, mereka boleh masuk secara gratis! Tentunya dengan kartu atau surat penyataan. Dan bagi semua publik, setiap minggu pertama awal bulan, mereka berhak untuk masuk secara gratis. Menarik sekali kan?

Museum adalah bagian kebudayaan yang sangat penting bagi orang Perancis, karena itu jangan heran bila melihat antrean masuk di setiap museum khususnya hari minggu selalu panjang.

Saat gedung utama museum saya masuki, bangga sekali diri ini. Karena sebuah patung besar menjulang gagah dipamerkan kepada umum, berasal dari Indonesia. Dan bagian kaca di tengah sebelum menyerahkan tiket karcis kepada petugas, penuh dengan alat musik tradisional, dimana, instrumen dari beberapa daerah di Indonesia, terdapat di dalamnya. Istilahnya pengenalan pertama untuk museum itu, Indonesia sudah memberikan keindahan kepada para pengunjungnya.

Menuju bagian utama dari pameran koleksi tetap, lorong yang membawa langkah kita adalah sebuah sungai kata. Dinamakan seperti itu karena, sepanjang perjalanan, kata-kata tersebar, berserakan, mengalir bagaikan aliran air sungai. Sensasi yang sangat ingat dulu saat pertama kali membawa Adam ke sini, dia sibuk mencoba berkejaran dengan kata agar dapat membacanya.

Barulah kemudian, kita memasuki bagian utama dari pameran koleksi tetap. Di sini pengunjung dipersilahkan memilih mana yang ingin dilihat, atau bisa juga menyusuri tapak petunjuk agar bisa melihat satu persatu secara berurut, semua benda budaya dari empat  benua yang ditawarkan.

Jujur saja, saya merasa interior museum ini menjadi lebih menarik setelah saya datangi untuk yang kedua kalinya. Hanya yang kerap saya sayangkan setiap kali berkunjung ke museum di Paris adalah penerangan secara tertulisnya kadang hanya menggunakan bahasa Perancis. Untung saya mengerti bahasa setempat. Tapi jangan khawatir, bagi turis asing, mereka bisa meminta audio guide (panduan pendengaran). Jangan berharap bahasa Indonesia bisa kita dapatkan, tapi paling tidak bahasa Inggris selalu terdapat di dalamnya.

Anda boleh percaya atau tidak kepada saya, tapi bila kita menggemari sejarah budaya, bertatapan dengan obyek yang tak pernah kita lihat secara dekat, selalu membuat diri ini tercengang. Karena, fungsi dari setiap benda, rasanya tak pernah terlintas dibenak. Tak hanya hanya indah, namun juga, bagi kita yang saat ini terbiasa dengan serba serbi canggih, rasanya dibuat heran, dengan satu benda yang bisa berfungsi layaknya benda yang kita gunakan sehari-hari.

Hanya bedanya, peninggalan budaya yang dipamerkan itu begitu rumit terlihat dan buatan tangan, sementara yang kita gunakan keluaran mesin, simpel tak indah namun memang sangat praktis dari segi fungsinya.

Benda yang kita tatap, memiliki cerita dibelakangnya, dan itulah yang selalu membuat saya merasa semakin kaya secara wawasan. Ahhh... akhirnya tubuh ini masuk juga ke dalam ruangan dimana benda-benda dari tanah air terpajang begitu indah. Beberapa nisan yang digunakan dari daerah Sumbawa membuka daerah ruang Indonesia.

Tentu saja yang paling menyolok mata adalah tambur raksasa yang juga menjadi perhatian pengunjung yang datang. Jujur baru di museum inilah saya melihat tambur kuno asal Sumatera.

Peninggalan lainnya yang serupa sudah saya lihat beberapa kali di museum lainnya, khususnya di Geneva, Swiss. Di mana sebuah museum Barbier-Mueller, sangat terkenal sebagai pengoleksi barang antik dari benua, Asia, Afrika, Amerika dan Oceania. Dan Generasi dari Barbier-Mueller inilah yang banyak menyumbang di museum Quai Branly ini, salah satunya koleksinya dari Indonesia.

Satu yang membuat saya bangga namun juga sedikit teriris hati ini, karena peninggalan budaya Indonesia yang saya temukan di sini adalah merupakan sumbangan dari para kolektor besar dunia. Mereka adalah orang-orang yang peduli dengan pentingnya sebuah sejarah dari setiap budaya daerah, mempertahankan sebuah cerita agar keturunan manusia bisa selalu mengenalnya.

Hanya sayangnya tak saya temukan nama Indonesia sebagai salah satu menyumbangnya. Mungkin mata saya yang kurang awas memperhatikannya, semoga memang begitu halnya.

Setelah puas tenggelam dalam suasana tempo dulu, saya mencoba untuk mendatangi pameran temporer (tak tetap). Temanya saat itu adalah ‘Les Maîtres du désordre’. Mengenai budaya sihir, pengobatan hinggal ilmu mistik. Sekali lagi saya mendapat kejutan manis. Benda budaya Indonesia kembali tergelar! Ada leak Bali yang membuat pengunjung takjub dan tak berhenti hanya di situ, karena beberapa benda lainnya yang juga berasal dari daerah tanah air, kembali dipamerkan.

Benda-benda yang dipamerkan sangat menarik, sayangnya, sistim dekorasinya yang mengecewakan bagi saya pribadi. Hingga, kekuatan dari sebuah benda tak terlalu terpancarkan, padahal temanya sangat kuat sekali yakni berbau alam misteri. Namun paduan antara benda dengan penataan dekorasinya tak klop menurut saya.

Dibutuhkan waktu dua setengah jam untuk dapat menikmati pameran di museum ini. Bila Anda tak pernah mengunjungi museum Quai Branly saat berkunjung ke Paris, cobalah untuk menyisakan waktu dua jam. Dua jam yang akan membawa kita larut dalam sejarah, apalagi benda dari Indonesia terdapat di dalamnya. (DINI KUSMANA MASSABUAU)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com