Ester Lince Napitupulu
Namun, siswa peminat perkebunan masih kalah jauh dibandingkan dengan yang memilih program keahlian otomotif ataupun teknik komputer dan informatika. Jika pada penerimaan siswa baru program keahlian otomotif bisa membuka hingga lima kelas dan bidang komputer tiga kelas, program perkebunan tidak beranjak dari satu kelas dengan jumlah siswa 25 orang.
Ino, Kepala SMKN 2 Sampit, mengatakan, program keahlian perkebunan belum jadi pilihan utama siswa. Program ini baru ”dilirik” setelah siswa tidak terpilih di program favorit.
Menurut Ino, persoalan ini antara lain karena belum dipahaminya peluang usaha perkebunan. Para orangtua juga merasa bekerja di perkebunan tidak ”bergengsi” bagi anak-anak mereka dibandingkan dengan pekerjaan di bidang otomotif atau komputer. ”Belum lagi masalah kesiapan mental untuk bekerja dan hidup di area perkebunan yang tentu berbeda dengan hidup di kota,” katanya.
Selama ini, kerja sama dengan perusahaan kelapa sawit masih sebatas menerima praktik kerja industri alias magang untuk siswa selama empat bulan. Kesempatan magang ini, lanjut Ino, belum sampai pada tahap siswa SMK mengenal bagaimana manajemen perkebunan sehingga bisa mengetahui seluk-beluk bisnis kelapa sawit.
Menghadapi kenyataan tersebut, sekolah pun mulai melakukan terobosan. Sekolah tak sekadar memfokuskan siswa menjadi tenaga kerja di level mandor, tetapi juga wirausaha di bidang perkebunan.
Unit produksi perkebunan untuk penyediaan bibit kelapa sawit digiatkan sekolah dengan melibatkan siswa. Bermodal dana Rp 15 juta, sekolah membeli 2.500 bibit kelapa sawit dari kecambah untuk dikembangkan menjadi kelapa sawit siap tanam. Setiap siswa diberi tanggung jawab untuk merawat