Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ronggeng Menebar Pesan di Festival Gunung

Kompas.com - 18/07/2012, 15:03 WIB

Oleh M. Hari Atmoko

Hampir semua seniman petani kelompok ronggeng dari Gunung Merbabu yang pentas malam itu boleh dibilang tidak mengerti sejak kapan tariannya mulai menjadi tradisi berkeseniannya.

Namun, merea dari grup kesenian ronggeng Dusun Kiyudan, Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengetahui secara baik bahwa nomor-nomor tarian yang identik menampilkan perempuan cantik dengan sejumlah lelaki sebagai penari itu menyimpan pesan moral berkehidupan, baik untuk kepentingan pribadi maupun bermasyarakat.

"Menawi kapan tarian menika wonteng ing dusun kawula, kadosipun mboten wonten ingkang mangertos. Lami saderengipun kulo lahir, sampun wonten tarian ronggeng ing dusun kawulo," kata seorang pemimpin grup ronggeng Dusun Kiyudan, Waris (42), di sela pementasan "Ronggeng Gunung" di Pendopo Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, Dusun Gejayan, Desa Bayusidi, Kecamatan Pakis.

Komentar berbahasa Jawa itu dapat diartikan: "Sepertinya, tidak ada di antara kami yang tahu kapan lahir tarian ronggeng di dusun kami. Jauh sebelum kami lahir, sudah ada tarian ini di tempat kami."

Ratusan warga, baik laki-laki maupun perempuan, pemuda, anak-anak hingga orang tua, tampak berdesakan di pendopo padepokan pimpinan Riyadi. Mereka menyaksikan sajian tarian Ronggeng Gunung berkinerja asli Jawa, yakni baik gerak, musik, maupun tembangnya berbahasa Jawa.

Pementasan tarian ronggeng itu merupakan rangkaian Festival Lima Gunung XI/2012 di Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi (4-15 Juli). Festival tahunan secara mandiri itu digelar oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

Sore hari sebelumnya, masih dalam rangkaian festival itu, panitia meluncurkan novel berjudul "65" karya Bre Redana (Jakarta) dengan nama Gitanyali.

Acara yang dipandu penyair Komunitas Lima Gunung, Dorothe Rosa Herliany, itu antara lain ditandai pembacaan nukilan novel itu oleh sastrawan Yogyakarta Joni Aryadinata, pentas musik dan performa seni berjudul "M&M" oleh komponis Memet Choirul Slamet dan penari Mila Rosinta dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Ada pula sajian tarian tradisional "Soreng Putri" dan "Gupolo Gunung" oleh seniman petani Padepokan Wargo Budoyo Gejayan.

Udara dingin malam sejak magrib di kawasan Gunung Merbabu, terasakan menyusup di antara kegembiraan penonton, penari, dan penabuh iringan musik tarian ronggeng yang disajikan seniman petani grup itu yang melibatkan sekira 40 anggota.

Sejumlah penyuguh festival berasal dari luar daerah setempat yang telah hadir di kawasan gunung itu juga turut menonton pementasan ronggeng tersebut.

Sebelum pementasan ronggeng, seorang sesepuh warga bernama Ngatman membakar kemenyan dan mengucapkan doa-doa selama beberapa saat, di dekat aneka sesaji yang ditata di pojok panggung, tidak jauh dari alat musik pengiring tarian ronggeng.

"Ramak alah ramak, krambilku depo piro. Depo loro. Ramak alah ramak. Krambilku dhoyong piro. Dhoyong loro."  Begitulah sebait tembang berbahasa Jawa yang mengiring penari perempuan dengan dua laki-laki yang masing-masing bertopeng penthul.

Tembang tersebut dilantunkan petinggi lainnya grup itu, Kasto Slamet (51), yang bersila di panggung pendopo, di samping penabuh kendang, Jumin Pawit (45). Alat musik pengiring tarian ronggeng mereka, antara lain kendang, angklung, terbang (ketipung khas Jawa), dan kopyak (alat musik terbuat dari bambu).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com