Kornelis Kewa Ama/ A Ponco Anggoro
Spageti, roti lapis (sandwich
Lewat bumbu ulat sagu, remaja berusia 17 tahun ini meraih juara III kategori ilmu alam pada konferensi yang diikuti 150 pelajar dari 22 negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Eropa.
Karya Mike terkesan ”aneh”, tetapi justru dengan cara itu cita rasa baru makanan bisa tercipta. Makanan lebih bergizi dan bisa menghilangkan perasaan jijik, terutama bagi mereka yang tak biasa makan ulat sagu.
Ulat sagu yang berwarna putih kecoklatan, bertekstur lembut, dan memiliki kepala keras merupakan jenis ulat yang hanya ditemui pada tanaman sagu. Di Indonesia, tanaman sagu banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, yaitu Papua, Maluku, dan Maluku Utara.
Selain sagu yang menjadi pangan pokok sebagian masyarakat kawasan itu, ulat sagu pun mereka konsumsi, terutama oleh warga di pedesaan. Mereka biasa mengonsumsi langsung ulat itu ataupun memasaknya lebih dulu.
Ulat sagu sebagai salah satu makanan khas Papua itulah yang diangkat Mike dan dipopulerkannya. Apalagi kaum muda Papua, terutama yang tinggal di perkotaan, cenderung tak lagi mengenal ulat sagu. Mereka pun tak pernah mengonsumsinya.
”Sebelum memutuskan mengangkat ulat sagu, saya sempat terpikir mengangkat tanaman sagu. Namun, tak jadi karena banyak orang sudah tahu tanaman itu,” ujar perempuan yang menyenangi ilmu biologi ini.
Mengolah ulat sagu menjadi bumbu makanan dilakukan Mike setelah melalui serangkaian penelitian. Penelitian pertama dilakukan tahun 2011. Mereka mencoba meneliti kadar protein tertinggi pada ulat sagu. Ada tiga bagian ulat yang diteliti, kepala dan kulit, cairan hitam, serta cairan putih. Hasilnya, kadar protein tertinggi ada pada cairan putih. ”Kadarnya mencapai 17 persen. Kandungan protein ini melebihi protein pada telur yang hanya 13 persen,” tutur Mike.