Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari 83, Hanya Tersisa 3 Pengrajin Suling Bambu di Kediri

Kompas.com - 18/06/2012, 08:01 WIB
M Agus Fauzul Hakim

Penulis

KEDIRI, KOMPAS.com- Banyaknya pengrajin suling bambu di Kelurahan Gayam, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur tak urung membuat daerah ini dikenal sebagai sentra penghasil alat musik tiup dari bahan bambu tersebut. Namun saat ini jumlah mereka semakin berkurang hingga hampir habis.

Khamid, seorang pengrajin menuturkan, kondisi tersebut terjadi karena beberapa faktor. Selain karena ketatnya persaingan, berkurangnya permintaan pasar juga mempengaruhinya. Ia mencontohkan grup orkes maupun kelompok kesenian lain yang biasa menggunakan instrumen suling, kini terus tergerus zaman. Upayanya untuk mengalihkan sasaran pasar dengan cara memproduksi suling untuk permainan anak-anak, juga tidak sepenuhnya berjalan mulus. Produknya malah dikalahkan oleh serbuan mainan anak-anak impor dari bahan plastik yang terjadi sejak beberapa tahun ini.

"Dulu jumlah total pengrajin mencapai 83 orang, tapi kini menyusut tinggal tiga orang saja yang masih bertahan. Saya sendiri sempat berhenti produksi beberapa tahun," kata Khamid yang ditemui Kompas.com, Minggu (17/6/2012).

Sedangkan Kadri, pengrajin lainnya, sempat merasakan kejayaan usaha setelah ada investor asing yang merangkulnya. Investor itu memasarkan suling bambunya hingga ke manca negara seperti Australia. Namun sayang kini tidak berlanjut.

"Dulu sulingnya saya kirim ke Bali, lalu oleh dia dikirim ke Australia. Gara-gara ada bom Bali, pengiriman mandek total. Orangnya sudah tidak bisa saya hubungi, bahkan juru bahasanya juga tidak bisa dikontak," sesal Kadri.

Baik Khamid maupun Kadri kini berupaya menjaga eksistensinya meskipun hanya mengandalkan pemasaran ditingkat lokal. Setiap bulannya rata-rata mereka mampu menghasilkan empat ribu suling dari berbagai jenis, seperti suling untuk gending jawa, suling china, suling nada C, D minor, F serta G serta nada lainnya. Suling itu kemudian diambil langsung oleh para tengkulak untuk dipasarkan dibeberapa daerah di Jawa Timur.

Bagi warga Gayam, membuat suling bambu bukanlah hal baru. Mereka telah mengenalnya sejak puluhan tahun silam. Pengrajin yang ada saat ini adalah penerus secara turun temurun dari pendahulunya. Umumnya, pekerjaan itu dikerjakan secara gotong royong antar anggota keluarga sebagai mata pencahariannya.

"Awalnya kapan saya gak tahu, dari dulu sudah ada. Saya menekuninya sejak tahun 1973," kata Kadri.

Bambu bahan baku yang dipergunakan tidak sembarangan, hanya bambu jenis Wuluh yang dapat digunakan. Bambu jenis ini mempunyai diameter kecil serta tipis. Jika di wilayah Kediri sudah mulai susah di cari, pengrajin biasanya mendatangkan dari wilayah Malang. Sementara proses pembuatannya, bambu yang sudah dipotong ukuran 30 cm - 60 cm diberi lubang tiup disalah satu ujungnya serta lubang nada dibagian ujung yang lain.

Pelubangan dilakukan dengan pisau kecil kemudian area lubang dihaluskan dengan solder. Disusul kemudian proses pencucian lalu pemberian corak. Pemberian corak dapat dilakukan dengan menggunakan politur pewarna atau dengan cara dibatik, yaitu dilakukan dengan menggambar motif dengan bara api. Cara terakhir ini membutuhkan ketelatenan tinggi.

Harga tiap jenis suling bervariatif. Untuk suling mainan atau disebut suling Doremi rata-rata dibanderol dengan harga Rp. 10 ribu per 20 biji (kodi). Sementara untuk suling instrumen musik dijual per paket dengan harga hingga Rp. 200 ribu, tergantung jumlah dan kelengkapan nada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com