Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cannes! Di Kota Ini Para Selebriti Dunia Berkumpul

Kompas.com - 06/06/2012, 15:37 WIB

KOMPAS.com — Dunia jetset! Kata yang kerap terucap saat saya katakan akan pergi ke Cannes, dalam rangka liputan Festival de Cannes. "Ohhh, kamu mau pergi ke Cannes untuk liputan ajang film bergengsi di sana? Selamat menikmati kehidupan gemerlap dan mengambil kesempatan bertemu para artis rupawan ya...."

Benarkah seperti itu? Selama beberapa hari saya berada di sana, apa yang dituturkan oleh banyak orang benar juga! Namun, keberadaan dunia jetset dan hebohnya suasana di Cannes yang saya dapatkan memang menjadi sangat berlebihan saat Festival de Cannes berlangsung.

Cannes sendiri merupakan kota kecil, hanya dihuni sekitar 74.000 penduduk. Kota ini berada di daerah Perancis selatan, tepatnya masuk dalam wilayah Côte d’Azur. Daerah tersebut sangat terkenal dengan kota-kotanya, tempat para miliarder dan selebriti dunia berlibur, menikmati pantainya yang biru, tempat hiburannya yang spektakuler, dan suasana kelas atas yang ditawarkan dari kota-kota itu sendiri.

Festival de Cannes itu sendiri mulai ada sejak tahun 1946, yang merupakan hasil gagasan dari Jean Zay, yang saat itu memegang jabatan sebagai menteri pendidikan dan seni budaya. Festival de Cannes adalah sebuah ajang film internasional. Di sana, karya terbaik diberikan penghargaan, dari mulai penghargaan juri, hingga piala Palme d’or. Setiap tahunnya festival bergengsi ini berlangsung selama dua belas hari, dimulai pada pertengahan Mei. Sebanyak 22 film utama yang terseleksi untuk mendapatkan Palme d’or hingga puluhan film dalam kategori lainnya dipilih oleh para juri, untuk mendapatkan penghargaan.

Juri, yang terpilih setiap tahunnya, berganti-ganti. Mereka adalah kaum perfilman. Dari artis hingga sutradara, berasal dari berbagai negara. Mungkin pembaca masih ingat, artis Indonesia, Christine Hakim, pernah dipilih sebagai salah satu juri festival pada tahun 2002. Tahun ini, sejumlah nama kondang seperti Jean-Paul Gaultier (perancang mode terkenal), Dian Kruger (artis Hollywood asal Jerman, bermain untuk berbagai negara berkat keahlian berbicara lebih dari empat bahasa), dan Nani Moretti (sutradara dan aktor asal Italia yang telah banyak memenangkan penghargaan internasional) terpilih sebagai presiden juri. Masih banyak nama beken lainnya yang turut berpartisipasi dalam memilih karya film di festival itu.

Mengapa begitu bergengsi? Pertama karena industri film di Eropa, khususnya di Perancis, dinilai memiliki kriteria seni tinggi. Masyarakatnya pun sangat menghargai perfilman internasional. Bioskop di sini masih memutarkan karya film dari negara lain yang mungkin tak diputar di beberapa negara besar. Karya film seni dari Korea, Iran, Mesir, Afrika, Brasil, Jepang, dan beberapa karya negara lainnya, yang tak pernah saya tonton sebelumnya, masih dapat dinikmati di Perancis. Penontonnya pun ada. Karya lokal pun selalu menyedot penonton setempat.

Di Perancis, budaya sinema masih sangat kental. Pergi menonton sendiri ke bioskop, dari mulai yang muda sampai tua, menyaksikan sebuah film sendiri, bukan hal yang aneh. Istilahnya, bahkan, saat hujan turun atau cuaca buruk, gedung film akan penuh oleh penonton.

Oleh karena itulah, merupakan kebanggan bagi kaum film jika karya atau akting mereka bisa masuk dan terseleksi dalam Festival de Cannes. Bisa dibayangkan, para bintang film yang hadir pun dari mancanegara. Tentu saja, mereka yang tenar di Hollywood pun akan turut memeriahkan acara film tersebut.

Unik memang apa yang ditawarkan ke mata saat berlangsungnya ajang bergengsi itu. Kota telah dipenuhi oleh poster dan spanduk besar dari Festival de Cannes. Seolah seluruh penduduk setempat siap merayakan pesta film internasional itu. Jumlah turis yang datang juga meningkat. Lantas tentunya, yang membuat kota kecil tersebut semakin padat adalah kedatangan para pekerja media massa, tim perfilman, para pekerja di industri film, dan semua yang berhubungan dengan dunia film dan budaya yang datang dari mancanegara!

Mereka yang memang harus hadir untuk festival tersebut sudah harus mempersiapkan akomodasi, terutama penginapan, sejak setengah tahun sebelumnya. Bila mencoba sebulan sebelum acara berlangsung, silakan gigit jari karena semua jenis penginapan, dari yang berupa palais (palace) hingga hotel kecil layaknya losmen, sudah penuh dipesan sejak tiga bulan sebelum ajang tersebut berlangsung.

Tentu saja, masih ada yang beruntung bisa mendapatkan tempat, justru saat acara telah mepet, karena misalnya seseorang membatalkan pesanan tempat. Hanya, harga yang ditawarkan bukan lagi harga normal, melainkan rata-rata menjadi tiga hingga empat kali lipatnya. Yah namanya aji mumpung, dan memang bagi mereka yang tak ada pilihan, apa boleh buat menerima dengan pasrah terhadap tarif yang menjadi sangat mahal tersebut, daripada harus menginap di luar Cannes, yang mungkin kurang praktis.

Meski demikian, menginap di luar Cannes sebenarnya juga banyak dilakukan para turis. Selain tarif hotel lebih murah, mereka juga bisa memperoleh ketenangan. Rata-rata dari mereka memilih tempat, mulai sekitar sepuluh kilometer dari kota festival tersebut.

Saya pribadi memilih bermalam di luar Cannes, dan sama sekali tak merasa repot. Bus selalu ada, membawa kami menuju Cannes. Selain itu, memang soal harga hotel lumayanlah bedanya dibanding penginapan di Cannes itu sendiri.

Saatnya saya bercerita mengenai suasana yang saya rekam selama berada untuk acara seleksi film internasional tersebut.

Saya sampai di kota Cannes, gedung festival tempat berlangsungnya acara. Ketika saya memasuki bagian khusus pengurusan akreditasi media dan kaum perfilman, wahhhhhh... antrenya bukan main. Saya beberapa kali membuat liputan acara internasional, tetapi baru kali ini melihat begitu banyak media yang ikut berpartisipasi. Jumlah media yang hadir tahun lalu saja mencapai 5.000 jurnalis dari penjuru dunia. Diperkirakan, jumlah tahun ini akan naik sekitar sepuluh persen. Itu pun hanya bagi para media resmi yang diberikan hak liputan dari penyelenggara festival.

Sementara itu berdasarkan kabar yang saya dapat, banyak juga pekerja media lain yang datang, secara tak resmi, karena hanya bermaksud meliput bagian luar saja dari acara. Nah, mereka yang tak mendapatkan akreditasi (izin liputan) ini, kebanyakan adalah paparazzi!

Paparazzi itu telah menandai tempat mereka, di pembatas jalan, seberang palais festival, tempat para selebriti berjalan di atas karpet merah yang tersohor itu. Bukan main, persiapan mereka, dari mulai tangga dua meter, kursi lipat, sampai meja kecil, sudah tertata, lengkap dengan kunci gembok. Kenapa? karena setiap harinya, semua peralatan tersebut akan ditinggal di tempat seusai acara. Esoknya, tempat yang sudah mereka jajah itu masih tetap menjadi milik mereka karena sudah dikunci dan tidak bisa dipindahkan. Padahal, acara baru akan dimulai esok harinya, tetapi ramainya manusia sudah membuat suasana heboh!

Saya mencoba melihat bagian pasar film. Di sana, mereka yang datang dari dunia film sibuk mempersiapkan booth, dengan berbagai dekorasi dan poster beberapa film yang ditawarkan untuk dijual. Menarik sekali memang, melihat bagaimana perwakilan stan tersebut saling berusaha memberikan penampilan terbaik untuk menarik para industri film agar membeli karya atau menjalin kerja sama. Mereka yang ikut berpartisipasi datang dari seluruh penjuru dunia, dan tentunya juga dari Indonesia. Bahkan tahun ini, terdapat dua stan bagi kaum perfilman Tanah Air.

Salah satunya merupakan hasil kerja sama industri film Indonesia dengan pemerintah, sementara satu stan lagi dari kaum film muda, seperti sutradara, produser, dan artis yang khusus datang mempromosikan karya mereka. Ada Putrama Tuta (sutradara film Catatan Harian Si Boy), Faudzan Zidni (produser Republik Twitter), dan si cantik Prisia Nasution (artis peraih Piala Citra tahun lalu, yang datang untuk mempromosikan filmnya, Sang Penari).

Ketiganya datang dengan semangat dan kepercayaan jika film Indonesia mampu bersaing di dunia internasional. Mereka juga menawarkan kerja sama pembuatan film dengan para industri film asing. Modal pribadi dan semangat terjun langsung mempromosikan karya mereka dalam Festival de Cannes patutlah diacungi jempol.

Berbincang dengan mereka juga sangat menyenangkan, melihat bagaimana antusias dan pikiran positif dalam berkarya membuat saya ikut merasa bangga melihat jiwa muda mereka berbicara.

Ada satu lagi yang juga membuat saya merasa bangga. Film hitam putih karya Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, diputar di ajang bergengsi tersebut, dalam kategori film klasik. Film yang dibuat pada tahun 1954 itu sebenarnya telah rusak. Namun berkat kerja keras World Cinema Foundation (WCF) yang diketuai sutradara Martin Scorsese dan sejumlah lembaga lainnya, film kuno tersebut berhasil direstorasi.

Aneh sekali rasanya, mahakarya peninggalan Usmar Ismail dan Asrul Sani itu malah baru kali pertama saya lihat langsung di Perancis, bukan di Indonesia. Bangga dan haru, saat Thierry Frémaux membuka acara pemutaran film klasik dari Indonesia itu, apalagi saat mengetahui salah satu juri Festival de Cannes, Alexander Payne, memilih Lewat Djam Malam sebagai tontonan di sore hari itu, ketimbang film lainnya. Di situlah saya sempat ngobrol dengannya, yang merupakan sutradara Amerika, yang filmnya meraih penghargaan Oscar tahun ini untuk kategori skenario terbaik.

Seusai pemutaran film, hadirin bertepuk tangan menunjukkan kekaguman terhadap karya film kuno dua seniman besar itu. Semua yang hadir berkata, film yang baru saja mereka tonton adalah sebuah karya maqnifique! (hebat), membuat saya ikut merasa bangga. Terlebih lagi, saat membaca di beberapa surat kabar Perancis, mengenai kritik positif dari film garapan dua seniman Indonesia itu.

Kesan lain yang tergores di benak saya adalah, selama berlangsungnya festival film itu, daerah dari mulai depan palais de festival (tempat berlangsungnya acara), hingga sekitarnya, Croissette Cannes, banjir manusia. Bukan sembarang pengunjung yang datang, melainkan para penggemar yang sengaja datang, menunggu pujaan mereka, barangkali saja keluar dari hotel mewah, menuju acara; atau jika si selebriti sedang menikmati santapan di teras hotel.

Hotel-hotel mewah, setiap hari selama ajang bergengsi tersebut, dipadati oleh pengunjung. Mereka dengan setia menunggu di luar hotel. Beberapa kali saya menanyakan kepada mereka, "Sedang menunggu siapa?" Herannya, jawaban yang kerap muncul "Tidak tahu, menunggu saja. Kali-kali saja ada artis beken yang keluar. Kalau lagi mujur kan lumayan bisa melihat tampang mereka". Walahhhh... niat sekali memang, apalagi mereka itu dengan sabarnya menanti selama berjam-jam hanya untuk seorang selebriti.

Memang heboh dan asyik ternyata. Hari terakhir saya berada di sana, saya mencoba ikut layaknya para penggemar bintang film dunia. Pasalnya selama ini, saya selalu berkesempatan melihat langsung para selebriti itu di acara konferensi pers atau saat pemutaran film mereka. Beruntunglah saya, meskipun untuk pengambilan foto, kesempatan itu kerap sulit didapat. Jadi, sekali-kali coba turun ke lapangan bareng para penggemar, apa salahnya....

Benar saja, seru! Menunggu di atas trotoar, sambil mempersiapkan kamera, mata awas setiap kali ada mobil mewah yang lewat menuju pemberhentian karpet merah. Mobil dengan kaca gelap tersebut melaju perlahan, membuat para penunggu saling menerka siapa di dalam kendaraan mewah itu. Kadang ada beberapa artis yang membuka kaca mobil mereka, melambaikan tangan, memberi kesempatan kepada pengunjung untuk mengabadikan momen itu dalam kamera mereka, membuat mereka yang hadir di sepanjang jalan menjerit histeris!

Akan semakin heboh jika salah satu orang beken lebih memilih berjalan kaki menuju acara. Merupakan kesempatan emas untuk melihat secara langsung gaun indah yang dikenakan sang artis dan memotretnya. Sayangnya, hal itu langka sekali dilakukan oleh kaum selebriti. Meskipun jalanan yang mereka langkahi dijaga ketat oleh para polisi dan dilindungi pagar pengaman, tetap saja mereka merasa lebih nyaman jika sudah melangkahkan kakinya tepat di atas karpet merah.

Selebriti kelas dunia memang membuat kagum. Cara mereka menampilkan diri layaknya sebuah iklan. Kadang tampak beberapa dari mereka tampil alami. Namun, tuntutan profesi yang membuat mereka wajib menjaga penampilan selalu enak dipandang, apalagi jika disorot oleh ribuan kamera. Sudah pasti, lenggak-lenggok, lambaian tangan, hingga senyuman teratur seapik mungkin. Gaun panjang, bahkan hingga berbuntut layaknya merak, dengan tenangnya dikenakan para artis, sambil berlenggak-lenggok.

Berbicara soal gaun resmi, kami para jurnalis pun diwajibkan mengenakannya. Gaun pesta bagi yang wanita, sementara smoking (jas hitam) bagi pria, untuk setiap acara karpet merah dan pemutaran film dengan para kru film tersebut. Saya mengandalkan kebaya modern dan selendang batik sutra saja karena kalau harus membeli beberapa gaun, khusus untuk liputan, bisa tekor….

Satu yang saya sayangkan adalah tak sempat melihat kehadiran Dian Sastro berjalan di atas karpet merah. Tugas saya meliput sudah selesai beberapa hari sebelum kedatangan artis cantik Indonesia tersebut untuk mewakili Tanah Air dari sebuah merek kosmetik terkenal.

Soal karpet merah yang tersohor itu, para selebriti yang berjalan di atasnya rasanya terlihat anggun sekali. Saya pribadi entah berapa kali menapakkan kaki di atas karpet tersebut. Namun harus berjalan cepat karena harus siap untuk berebut tempat duduk menyaksikan sebuah film yang diputar khusus untuk para pekerja media dan kaum perfilman. Baru terpikir untuk mengabadikan diri, justru saat hari terakhir berada di sana.

Spesial, itu yang bisa saya simpulkan mengenai Festival de Cannes. Berjalan kaki sepanjang Croissette, sambil mata tak berhenti bertemu mobil mewah yang membuat lidah berdecak dan juga para publik yang hadir.

Meskipun beberapa di antara mereka bukan datang untuk mengikuti acara, pakaian yang mereka kenakan, layaknya artis tenar saja, membuat pikiran salah tanggap, mengira mereka adalah salah satu selebriti tenar, padahal hanya pengunjung.

Dan tentunya ini merupakan sebuah pengalaman kaya akan budaya karena beberapa film dari berbagai negara yang saya saksikan, baik untuk kompetisi maupun bukan, padat sekali dengan kekayaan gambar, teknik yang cemerlang, permainan yang memukau dari para artis, dan tema dari film itu sendiri yang padat dengan ide jenius.

Bagi saya, selama di festival itu, film layaknya sebuah bahasa, berkomunikasi dengan penontonnya. Penguasaan sebuah bahasa film akan memberikan nilai yang membekas bagi penontonnya, secara baik ataupun tidak. Semua kembali kepada selera dan pikiran setiap individu manusia. (DINI KUSMANA MASSABUAU)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com