Banda Aceh, Kompas -
Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah sebenarnya pernah diparipurnakan DPR Aceh periode 2004-2009. Namun, qanun yang dihasilkan dalam rapat paripurna itu tidak bisa diimplementasikan. Saat itu Gubernur Aceh tidak menandatanganinya. Hal itu terkait adanya pasal yang menimbulkan kontroversi, yaitu hukuman rajam.
Ketua Komisi A DPR Aceh Adnan Beuransyah, Senin (4/6), di Banda Aceh, menuturkan, saat ini eksekutif belum menyerahkan revisi Rancangan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah kepada DPR Aceh. Namun, intinya DPR Aceh tidak ada masalah apabila hukuman rajam dievaluasi kembali, khususnya terkait dasar dan siapa yang menjadi sasaran hukuman itu.
”Jangan sampai yang dirajam itu hanya orang kecil. Pejabat yang salah tidak diperlakukan secara sama,” ujarnya. Adnan menegaskan, hukum itu yang penting untuk mengatur kedamaian masyarakat.
Tarmizi mengatakan, draf revisi atas rancangan qanun itu sudah diserahkan kepada DPR Aceh. Jadwal pembahasannya diserahkan kepada DPR Aceh.
Tim Pengkaji Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah yang dibentuk Pemerintah Provinsi Aceh, lanjut Tarmizi, memutuskan mencabut pasal yang mengatur pemberian sanksi cambuk dan rajam bagi penzina.