Bogor, Kompas -
Wakil Presiden Boediono mengatakan itu di Bogor, Sabtu (26/5), saat memberikan refleksi dan pemikiran Prof Sajogyo dalam rangka peringatan In Memoriam Prof Sajogyo: Bukan Hanya Sekadar Garis.
Dalam kesempatan itu, perspektif dan pemikiran Prof Sajogyo antara lain juga disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian yang juga Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria, Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto, Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB Lala M Kolopaking, serta pengamat pertanian HS Dillon.
Boediono mengakui, kontak pribadi dengan Prof Sajogyo tidak banyak. ”Dalam pekerjaan saya sebagai pengajar, peneliti, dan dalam tugas-tugas saya di pemerintahan, karya-karya beliau di bidang ekonomi pedesaan sering menjadi sumber rujukan penting,” ungkapnya.
Ada tiga kontribusi Prof Sajogyo yang tetap relevan. Pertama, perlunya penentuan kebijakan yang didasarkan pada fakta empiris, peran teknologi pertanian tepat guna, dan perlunya riset perilaku individu dan rumah tangga Indonesia, khususnya di pedesaan.
Di Indonesia, Prof Sajogyo dikenal sebagai pionir dalam memperkenalkan konsep garis kemiskinan yang sederhana dan praktis sehingga bermanfaat bagi perumusan program-program konkret penanggulangan kemiskinan.
Dari studinya, seseorang berada dalam status miskin jika pengeluaran per kapitanya di bawah nilai moneter dari 360 kilogram beras per tahun untuk rumah tangga pedesaan dan 480 kilogram beras per kapita per tahun bagi mereka yang tinggal di perkotaan.
Dengan menggunakan ukuran empiris yang praktis dan sederhana, pengambil kebijakan dapat menetapkan sasaran dengan lebih baik. Sekarang banyak hal telah berubah. Pola konsumsi masyarakat, termasuk kelompok miskin, sudah berubah dan makin bervariasi dibandingkan dengan tahun 1970-an.