KOMPAS.com — Sambil menari, Wulan menyungging senyum manis dari bibirnya yang tipis. Ia dan dua temannya melompat lincah, bergairah di atas panggung dengan tangan menggengam bambu kecil. Wulan, sang penari, terus memukul bambu itu hingga tarian Tetengkoren yang berdurasi selama 10 menit berakhir.
Tarian Tetengkoren sebagai tari kreasi baru muncul dekade 1990-an dan merupakan imajinasi perempuan Minahasa zaman dulu. Tetengkoren dalam mitologi Minahasa adalah penanda sesuatu.
Memukul Tetengkoren dapat berarti mengajak bekerja bersama (mapalus), mengisyaratkan bencana, bahkan sebagai tanda berperang.
Tahun 1801 ketika terjadi perang Tondano (Benteng Moraya), perempuan Minahasa diceritakan memukul tetengkoren membangunkan lelaki untuk berperang. Mereka berada di garis depan mengusir Belanda yang ketika itu terdesak akibat serangan Inggris.
Albert Berni Kusen, dosen Antroplogi Minahasa di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Sam Ratulangi, menceritakan heroisme wewene (wanita) Minahasa sudah sejak lama. Pada abad 15, pemimpin masyarakat (walak) adalah wanita.
Walak merupakan pemimpin masyarakat yang diangkat sesuai situasi dan kondisi. Walak memiliki kelebihan keberanian dan kecerdasan yang juga menjadi tokoh spiritual.
Ia merujuk nenek moyang Minahasa, seorang wanita bernama Lumimuut serta pemimpin spiritual Karema, yang mengawinkan Toar (pemuda) dan Lumimuut.
Peran perempuan yang kuat pada masa itu memberi paham bahwa Minahasa dulu menganut sistem matriarkal. Sistem itu nyaris tidak berubah bentuk pada masa pemerintahan Belanda hingga perempuan Minahasa memasuki fase modern.
"Orang Belanda menyebut style (sikap) perempuan Minahasa," kata Kusen.
Sikap hidup orang Minahasa egaliter dan demokratis, sejak dulu tidak membedakan pria dan wanita. Hal itu memberi inspirasi atas kehidupan keluarga dan masyarakatnya, termasuk ketika Maria Walanda Maramis berjuang untuk kemajuan pendidikan dan kesehatan perempuan di awal abad ke-20.