JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kejaksaan Agung melakukan upaya paksa dalam mengeksekusi Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin Najimuddin. Upaya paksa tersebut perlu dilakukan untuk menghindari terpidana melarikan diri. Hal itu diungkapkan Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho melalui siaran pers yang diterima wartawan, Jumat (6/4/2012).
"Eksekusi terhadap koruptor sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ketika proses pemanggilan secara patut namun diabaikan, maka kejaksaan harus melakukan tindakan atau upaya paksa dengan menangkap koruptor. Hal ini penting untuk menghindari terpidana melarikan diri," kata Emerson.
Agusrin diduga mengorupsi dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tahun 2006. Jaksa menuntutnya selama 4 tahun 6 bulan, tetapi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskannya. Di tingkat kasasi, majelis hakim agung yang dipimpin Artidjo Alkostar menghukum Agusrin selama 4 tahun.
Emerson mengatakan, Kejaksaan sebaiknya tidak mengulangi kesalahan serupa dengan menunda eksekusi yang mengakibatkan sejumlah koruptor melarikan diri sebelum dieksekusi. Bedasarkan catatan ICW, ada 25 terpidana korupsi yang kabur sebelum proses eksekusi, diantaranya, Joko S Tjandra (korupsi Bank Bali), Samadikun Hartono (korupsi BLBI), dan Sudjiono Timan (korupsi BPUI).
Dia juga meminta Kejaksaan mengabaikan permintaan penundaan ekseskusi yang diajukan Agusrin dan kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Menurut Emerson, alasan penundaan eksekusi yang diajukan Agusrin dan Yusril, tidak masuk akal dan mengada-ada. Yusril mengatakan, Kejaksaan tidak perlu mengeksekusi Agusrin lantaran tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut dan Agusrin tengah mengajukan peninjauan kembali (PK).
"Pernyataan yang disampaikan Yusril tidak mendasar dan mengada-ada. Walaupun Agusrin bersama kuasa hukumnya saat ini tengah melakukan Peninjauan Kembali, maka menurut aturan yang berlaku dalam KUHAP bahwa Peninjauan Kembali (PK) tidak menunda eksekusi," ujar Emerson.
Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) KUHAP, katanya, peninjaua kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan eksekusi Terkait alibi tidak adanya kerugian negara dalam kasus ini, menurut Emerson, hal itu terjadi karena adanya proses pengembalian uang hasil korupsi tersebut ke kas daerah ketika proses hukum sedang berjalan.
Namun, lanjutnya, pengembalian kerugian negara tersebut, juga tidak dapat menghapuskan pidana seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Sekali lagi, Kejaksaan jangan mau berkompromi terhadap koruptor, tangkap Agusrin dan terpidana korupsi lainnya. Tindakan eksekusi secara paksa terhadap koruptor sekaligus menunjukkan bahwa kejaksaan serius dalam memerangi korupsi dan tida berpihak terhadap koruptor. Hal ini juga akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan," ungkap Emerson.
Pemberitaan sebelumnya menyebutkan, kantor ICW yang berlokasi di Kalibata Timur, Jakarta, didatangi sekelompok orang dari salah satu organisasi kemasyarakatan selama dua hari berturut-turut. Mereka mempertanyakan pernyataan dari ICW di berbagai media perihal dorongan pada kejaksaan untuk melakukan eksekusi putusan kasasi terhadap Agusrin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.