Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir di Jakarta dan Kearifan Lokal Betawi

Kompas.com - 05/04/2012, 20:00 WIB
Imanuel More

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir menjadi salah satu masalah yang melekat erat dengan Kota Jakarta. Ini bukanlah masalah baru di Ibu Kota karena setiap kali banjir atau luapan air sungai terjadi, pandangan warga langsung diarahkan ke pemerintah.

Pandangan keliru itulah yang hendak diluruskan oleh Rai bin Cilik (80), salah seorang tetua Betawi, warga asli Kampung Pulo yang hingga kini masih bermukim di daerah langganan banjir di Jakarta Selatan itu. Dengan kearifan orang tua yang dibesarkan dalam budaya Betawi, ia mengemukakan pandangannya yang kerap dinilai sebagai pola pikir tradisional.

"Ada tempat untuk sawah, ada tempat untuk air kali, dan ada tempat untuk rumah. Kalau sekarang sudah kagak jelas. Rumah masuk ke sawah, masuk ke kali. Gimana kagak banjir," tutur Rai saat ditemui wartawan di rumahnya RT 11 RW 03 Kampung Pulo, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Kamis (5/4/2012).

Didampingi kakaknya Nenek Machina (83), menuturkan dengan bahasa sederhana bahwa ada keseimbagan dalam alam ini yang telah dilanggar manusia. Aliran sungai atau kali telah mengalami penyempitan atau pengalihfungsian akibat ulah manusia. Sementara itu daerah bantaran kali yang sebenarnya lebih cocok dijadikan areal persawahan dan bedeng juga telah dialihfungsikan menjadi perumahan.

"Dulu sepanjang kali Krukut dari sini (Kampung Pulo) sampai Cipete sana bersih (dari pemukiman). Sekarang, hitung aja ada berapa ribu rumah di pinggir kali," lanjut Engkong Rai.

Ia berkisah, pada masa kecilnya di Kampung Pulo baru ada satu rumah, yaitu rumah keluarganya sebagai penjaga makam keramat Nyai Bango. Daerah pinggilan Kali Krukut, termasuk kawasan Lapangan Tembak Korps Marinir Cilandak adalah daerah persawahan dan bedeng.

"Baru tahun 70-an atau 80-an mulai ada rumah-rumah penduduk di Kampung Pulo," jelas Engkong Rai.

Situasi semakin berubah pada dekade 90-an. Rumah-rumah penduduk semakin banyak menggeser areal persawahan dan bedeng hingga akhirnya hampir tak berbekas. Pemukiman warga dan bangunan lain kemudian tidak hanya menduduki areal persawahan tapi juga merangsek hingga ke bibir sungai atau bahkan menutup sebagian aliran sungai.

"Ada yang pernah ngitung kagak, ada berapa pipa wc yang langsung masuk ke kali. Dari sini ke Cipete pasti ada ribuan," kata Rai.

Ia menilai, pemanfaatan saluran pembuangan secara keliru tidak hanya menyebabkan pencemaran air. Hal itu juga menjadi salah satu sebab pendangkalan sungai. "Jadi kalau sekarang lebih sering terjadi banjir, ya wajar," pungkas kakek 7 orang anak dan 20 cucu itu, yang berharap warga Jakarta bisa lebih tertib dalam pemanfaatan lahan dan menyesuaikan kebutuhan dengan kodrat alam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com