Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Itu Kembali Berulang di Senyerang

Kompas.com - 31/03/2012, 03:07 WIB

Pertikaian mewarnai Desa Senyerang, Kecamatan Senyerang, Tanjung Jabung Barat, 20 tahun silam. Saling serang sejak itu seperti membudaya di kalangan masyarakat pesisir timur Jambi ini. Sebagaimana namanya yang memiliki arti ”serang”, akankah sejarah kelam itu terus berulang?

Tetua adat setempat, Asmawi, mengenang peristiwa saling serang warga jelang 1940. Cekcok berlatar perebutan lahan garapan sepanjang Sungai Pengabuan yang tumpang tindih itu melibatkan warga etnis melayu suku Pengiansony dari wilayah Kuantan, Riau, dan suku Banjar dari Kalimantan.

Pemerintah Belanda yang menguasai wilayah itu akhirnya menertibkan sistem pengelolaan lahan melalui pembangunan kanal. Kanal berfungsi sebagai batas lahan, mulai dari Desa Teluk Nilau di sisi timur hingga Desa Ketapang di bagian barat.

Warga yang menggantungkan hidup pada usaha tani memperoleh lahan maksimal dua hektar, sedangkan yang tidak bertanam tidak wajib mendapatkan lahan.

Pengaturan ini terdokumentasi dalam peta Pemerintah Hindia Belanda. Masyarakat membagi pengelolaan lahan untuk sawah dan kebun kelapa sepanjang tepian Sungai Pengabuan. Tanaman buah dan getah alam dikelola dalam hutan. Sejak itu tak pernah lagi ada konflik perebutan lahan.

Namun, sejarah berulang sejak masuknya usaha tanaman industri melintasi Desa Senyerang tahun 2000. Hutan alam berganti monokultur akasia, diikuti pembangunan kanal baru oleh PT Wira Karya Sakti (WKS), anak usaha Sinar Mas Forestry. Ironisnya perusahaan itu memotong kanal lama persis di jantung penghidupan masyarakat.

Pembangunan kanal berlanjut dengan pembukaan kebun yang berarti menghabisi tanaman kehidupan warga. ”Masyarakat kecewa. Aktivitas perusahaan berlangsung tanpa permisi,” kata Asmawi.

Sejak itu pula protes muncul dari mana-mana. Tuntutan pengembalian lahan menyeruak. Masyarakat merasa teraniaya secara ekonomi dan geografi. Wabah kumbang melingkupi tanaman kelapa, setiap berlangsung panen akasia. ”Kumbang dari HTI menyerang kelapa kami. Kopra yang semula menjadi tumpuan hidup tidak bisa lagi diandalkan,” tutur Asmawi.

Akses distribusi hasil panen dari jalur darat melewati Tebing Tinggi kini ditutup perusahaan. Masyarakat terpaksa mengangkut hasil panen lewat sungai sehingga ongkos angkut naik.

Ketika rentetan protes berlangsung, salah seorang warga, Ahmad Adam, tewas tertembak aparat ketika berdemo menuntut lahan 7.224 hektar pada akhir tahun 2011.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com