Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berikan Damai di Aceh, Bukan Janji

Kompas.com - 30/03/2012, 22:46 WIB
Mohamad Burhanudin

Penulis

KOMPAS.com - Pilkada Aceh damai baru sekadar janji belaka. Ikrar damai dinyatakan, namun seakan nyaris terdengar sekadar bualan.

Hingga dua minggu menjelang pemungutan suara, rangkaian kekerasan, teror, dan intimidasi antartim sukses kandidat, masih saja mengemuka. Lalu, haruskah 9 April nanti rakyat Aceh memilih pemimpinnya dalam suasana drama kekerasan yang menyesakkan?

Siang yang terik di halaman Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, Rabu (14/3/2012) lalu. Ratusan tamu duduk rapi mengisi deret kursi yang ditata rapi di bawah tudung tenda raksasa. Sederet pejabat penting negara ini, di antaranya, Menteri Polhukam Djoko Suyanto, Mendagri Gamawan Fauzi, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, dan sejumlah pejabat teras Pemerintah Aceh duduk berjajar.

Di sekitar tenda, ratusan warga bermandikan terik matahari, menyaksikan acara penting hari itu, Deklarasi Damai Pilkada Aceh 2012.

Di sebuah panggung yang terletak di sisi kiri depan tenda raksasa itu, berdiri lima pasangan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Dengan suara lantang dan bersamaan, mereka berucap: "Kami berjanji untuk saling menghormati antara sesama peserta pilkada dengan tidak mengintimidasi, memprovokasi, atau melakukan tindakan yang dapat mencederai perdamaian dalam segala bentuk, demi pilkada yang demokratis di Aceh."

Tepuk tangan hadirin bergema. Harapan damai pun seakan menyala. Itu janji damai di depan tempat suci kebanggaan warga Aceh itu, diharapkan menjadi akhir dari hari-hari penuh kekerasan dalam setahun terakhir di wilayah ini. Sampai di situ, suasana menjelang pilkada seakan sempurna.

Namun janji tinggal janji. Hanya berselang sehari usai deklarasi damai di depan Masjid Baiturrahman itu, dalam kurun seminggu sejak deklarasi diucapkan, sembilan kasus kekerasan berwujud teror, perusakan mobil dan kantor, intimidasi, pemukulan, dan pembakaran mobil tim sukses kandidat terjadi beruntun.

Tanggal, 22 Maret lalu, masa kampanye di Aceh dimulai. Rangkaian kekerasan belum juga berhenti.

Drama tak berujung

Dalam setahun terakhir, pelaksanaan pilkada Aceh berkembang bak drama politik penuh intrik, polemik regulasi, dan intimidasi. Lima kali pilkada ditunda, tiga kali Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan terkait pelaksanaan pilkada ini.

Pada saat bersamaan, rangkaian kekerasan bersenjata terjadi. Dari 46 kasus kekerasan bersenjata sepanjang 2011 hingga awal 2012 di Aceh, sekitar 26 di antaranya bernuansa politis. Puncaknya, sebanyak 6 warga, umumnya pendatang, tewas, dan 11 lainnya luka-luka akibat serangkaian kasus penembakan misterius pada malam tahun baru dan awal Januari 2012.

Kekerasan sempat senyap saat KIP Aceh membuka kembali pendaftaran kandidat menyusul putusan MK pada pertengahan Januari. Partai Aceh yang sempat memboikot pilkada pun mendaftarkan pasangan-pasangan calonnya. Namun, sejak Februari, rangkaian kekerasan dan intimidasi kembali terjadi.

Ini menunjukkan kedewasaan berpolitik para elit politik bersama tim suksesnya masih sangat kurang. Mereka berikrar damai, selalu menyatakan damai, tapi semuanya baru di atas kertas, kata Koordinator Koalisi NGO Hak Asasi Manus ia (HAM) Aceh, Evi Narti Zein.

Kondisi itu diperparah dengan penegakan hukum atas kekerasan yang lemah. Hampir semua rentetan kasus kekerasan itu belum diungkap tuntas oleh kepolisian. Akibatnya, pelaku kekerasan merasa aman untuk terus mengulangi perbuatannya.

Kepala Polda Aceh, Inspektur Jenderal Iskandar Hasan, mengatakan, polisi tetap serius mengungkap kasus-kasus kekerasan menjelang pilkada saat ini. Sejumlah orang sudah ditangkap terkait berbagai kasus penembakan dan teror.

Namun belum semuanya bisa diungkapkan ke publik. " Nanti saatnya kami akan mengumumkan, tapi tidak sekarang. Memang, ada beberapa kasus yang belum terungkap. Kesulitannya adalah pada alat bukti dan saksi," kata Iskandar.

Pada saat yang sama, jajaran Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas) Aceh tak cukup sigap bertindak tegas, atas pelanggaran oleh tim sukses tertentu yang rawan mengundang benturan . Ketegasan hanya berlaku untuk pelanggaran-pelanggaran oleh kandidat yang lemah. Kandidat dengan sumber kekuatan politik yang besar dan diduga memiliki persenjataan, nyaris tak disentuh. Padahal, kekerasan berkutat pada kandidat-kandidat dengan ukuran kekuatan semacam itu.

"Kami menyadari, petugas kami terbatas di lapangan. Karena itu, kami sangat berharap ada bantuan masyarakat untuk ikut memantau dan melaporkan pelanggaran kepada kami," kata Ketua Panwas Aceh, Nyak Arief F.

Peneliti Sosial Politik Aceh, Arie Sujito, mengatakan, konstruksi damai di Aceh usai masa konflik berkepanjangan, masih bersifat formal. Struktur formal tersebut tak menjawab potensi kerentanan, yang tersisa dari masa konflik dan kebutuhan masyarakat pada masa damai. Akibatnya, masyarakat yang kecewa dengan struktur formal itu mudah sekali tersulut dalam gejolak konflik yang dikipasi elit.

Pada saat yang sama, hingga tahun ketujuh era damai ini, konsolidasi demokrasi di Aceh tak kunjung terwujud. Sebaliknya, fragmentasi politiklah yang terjadi. Elit politik belum terbiasa menghargai dan toleran atas perbedaan politik . Akibatnya, saat momentum semacam pilkada terjadi, potensi dan kerawanan konflik itu menemukan ruangnya.

Masih banyak beredarnya senjata eks-konflik, juga mempermudah akses kekerasan. Dendam lama peninggalan konflik berkelindan dengan pertarungan kekuasaan lokal.

Di pihak lain, Partai Aceh (PA) sebagai representasi politik GAM, sekaligus kekuatan politik dominan di Aceh pada era damai, justru belum sepenuhnya dapat menunjukkan jatidiri demokrasi yang sesungguhnya. Partai ini masih mempertahakan garis komando militeristiknya. Paradigma konflik pun masih mengemuka dalam pengambilan keputusan politik.

Kini, kekuatan eks-GAM tersebut terpecah dalam dua kubu. Selain PA, dalam Pilkada 2012 ini secara kultur politik mereka juga diwakili Irwandi Yusuf yang maju melalui jalur perseorangan.

Irwandi mengusung sejumlah mantan elemen PA dan GAM bergabung dengannya. Pada dua kubu yang masing-masing mempunyai basis sumber kekuatan politik kuat dan bersenjata itulah, pusaran kekerasan beberapa kali terjadi.

Di tengah fragmentasi dan antagonisme politik yang tinggi itu, deklarasi damai saja tidak cukup. Penyelenggara pilkada, dalam hal ini Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan Panwas Aceh harus menjaga kredibilitasnya. Ketegasan aparat penegak hukum atas setiap pelanggaran pun mutlak diperlukan.

Tentunya, yang terpenting adalah komitmen dan kedewasaan para kontestan pilkada untuk mewujudkan janji damai, dan tak menggunakan kekerasan sebagai alat meraih kekuasaan. Biarkan rakyat memilih dan berpesta secara damai. (M Burhanudin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com