Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Murah untuk Warga

Kompas.com - 05/03/2012, 12:33 WIB

Abun Sanda

Harun Hajadi termasuk salah satu ”chief executive officer” yang berangkat dari bawah. Semasa di sekolah dasar hingga sekolah menengah, ia berjalan kaki atau naik opelet. Dua tahun pertama kuliah arsitek di UC Berkeley, Amerika Serikat, ia mengayuh sepeda.

Ia menyadari benar bahwa untuk meraih cita-cita memang harus mengerahkan segenap energi. Kalau berkeluh-kesah, tidak akan memberi apa-apa. Sikap yang sama ia lakukan ketika meraih master of business administration (MBA) di USC California.

Latar belakang ketika sekolah ataupun ketika bergaul dengan warga sederhana di Jakarta dan sekitarnya inilah yang agaknya membuat Harun mempunyai simpati besar kepada kaum marjinal. Misalnya, yang menghuni kolong jembatan, bantaran sungai, dan taman-taman kota.

Ini salah satu alasan mengapa ia tidak hanya membangun rumah berkualitas tinggi dan di lokasi strategis, tetapi juga rumah hunian dengan harga Rp 65 juta per unit. Beberapa bank berskala besar, seperti BCA dan Mandiri, mendukung cita-cita memberi ruang kepada kaum yang terpinggirkan.

”Asa ini tidak bisa diwujudkan kalau hanya pengembang yang bergerak. Semua pihak harus turun tangan, termasuk pemerintah, perbankan, dan pers,” ujar Harun di Jakarta, Sabtu (11/2). Ketika ditemui, suami Junita Ciputra dan ayah dari Cipta, Pitra, dan Tri Harun ini baru tiba dari rapat dua pekan di Singapura dan Kuala Lumpur.

Berikut petikan wawancara dengan penggemar lukisan dan pesepeda yang tangguh ini.

Mengapa harus kuliah di Berkeley, Amerika Serikat?

Saya sangat suka bidang arsitektur dan karena berpikir bahwa salah satu kubu utama arsitektur dunia itu di Amerika Serikat, saya kuliah di situ. Tentu sangat banyak gaya arsitektur yang saya lihat dan pelajari. Saya mengambil MBA di USC California. Biar ngerti bisnis jugalah, he-he-he.

Selain kuliah, saya juga belajar memperkuat daya juang yang tumbuh dari diri sendiri. Belajar harus serius sebab kalau dapat angka buruk, tidak cuma malu kepada teman, tetapi saya merasa tidak bertanggung jawab. Ekspektasi orangtua kepada kita pasti tinggi. Jadi, ya, daya juang harus sangat kuat.

Di Jakarta, saya, kan, tidak langsung kerja di perusahaan raksasa, tetapi di perusahaan menengah. Saya kerja di perusahaan itu hanya tiga bulan. Saya mundur karena saya hanya diminta menggambar desain orang lain, padahal saya juga ingin desain sendiri. Ngapain saya sekolah jauh-jauh kalau hanya menggambar desain orang. Lalu, saya pindah ke perusahaan properti, di sana menjadi asisten analis investasi. Tahun 1988, saya masuk Grup Ciputra.

Ketika di Amerika Serikat, Anda melihat kenyamanan warga tinggal di apartemen. Bagaimana dengan di Indonesia?

Sejak pulang dari sekolah, salah satu cita-cita saya adalah membangun hunian yang layak bagi saudara-saudara kita yang tidak kuat secara ekonomi. Maka, saya banyak bangun rumah dengan harga antara Rp 50 juta dan Rp 65 juta. Luas tanah rumah ini 72 meter dan luas bangunan 21 meter. Jaraknya 30 kilometer dari Semanggi. Rumah dengan jenis seperti ini banyak kami bangun di tepi Jakarta di sejumlah kota di Tanah Air. Larisnya bukan alang kepalang. Maklum, lingkungannya kita bagusin. Ada taman, lapangan olahraga, area bermain, dan sebagainya.

Ide hunian di bangunan tinggi, saya sangat setuju. Di tengah meningkatnya jumlah penduduk dan tidak bertambahnya areal hunian, rumah susun sederhana adalah pilihan cerdas. Grup Ciputra juga ikut membangun rumah susun (rusun) ini.

Akan tetapi, saya melihat ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Kita terkesan suka mendirikan rumah susun untuk mereka yang terpinggirkan secara ekonomi. Lalu, kita bangun rumah susun sewa. Saya melihat tipe yang ini kurang disambut pasar. Dugaan kuat, karena rusun itu disewakan. Berbeda dengan rumah susun sederhana yang dijual, dengan Pak Jusuf Kalla sebagai penggagasnya. Rumah susun seperti inilah yang laku keras sehingga jauh lebih sukses karena lebih disukai, lebih modis, dan rumah itu dimiliki. Pada sisi lain, mesti dibuat aturan yang kuat bahwa yang berdomisili di rumah susun murah itu betul-betul rakyat kecil. Jangan justru diperjualbelikan sehingga pada ujungnya rakyat kurang mampu tetap tinggal di tepi sungai dan orang lain mendapatkan rumah susun murah bersubsidi.

Indonesia sudah saatnya menggalakkan rumah susun seperti ini karena di sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, dan Semarang, potensi pasarnya cukup besar. Penduduk lebih dari satu juta jiwa, ekonominya cukup bagus.

Bagaimana dengan warga di bantaran sungai?

Mereka harus diberi tempat tinggal layak. Formulanya bisa dengan rumah susun sederhana yang dibeli. Pemerintah dan swasta bekerja sama mewujudkan ini. Pemerintah memberi subsidi atau pinjaman dengan bunga hampir nol persen. Swasta membangun rumah susun manusiawi untuk hunian warga sederhana, tanpa perlu meraup laba besar. Sangat ideal kalau jangka waktu cicilan panjang, misalnya 10-15 tahun.

Ada juga pikiran begini. Para arsitek dan insinyur sipil turun tangan membantu warga di bantaran sungai. Mereka menata rumah warga tersebut dengan sponsor perusahaan-perusahaan berlaba besar melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Ide ini baik dan seyogianya ada gerakan konkret untuk mewujudkannya. Kita bisa bayangkan betapa tidak enaknya hidup di tepi sungai di Jakarta yang pikuk. Sampah manusia menggunung, bercampur dengan buangan selokan dan limbah pabrik. Ini semua pasti mengganggu kesehatan. Kita bisa ikut merasakan dan bersimpati kepada mereka. Tetapi, sebelum dilakukan, mesti ada survei di lapangan lebih dulu sebab sepengetahuan saya banyak rumah di tepi sungai atau kali hanya terdiri atas 3 x 4 empat meter. Sebagian 4 x 5 meter. Mereka bercakap-cakap dengan keluarga dengan suara lirih, terbenam oleh gegap gempita Kota Jakarta. Ini memang fakta yang cukup pahit. Karena itulah, kita perlu berbuat sesuatu yang konkret.

Ada gagasan begini, rumah hunian untuk orang kaya bisa satu kompleks dengan rumah sangat sederhana. Anda setuju?

Masalahnya bukan soal setuju atau tidak setuju. Ini menyangkut kemauan pasar. Kami pernah melakukannya, misalnya 20 persen untuk warga sangat sederhana dan 80 persen warga mampu. Warga yang mampu ini diajak membeli rumah yang sedikit lebih mahal agar terjadi subsidi silang kepada yang kurang mampu secara ekonomi.

Namun, ide ini benar-benar jauh panggang dari api. Fakta di lapangan menunjukkan, warga yang bisa membeli rumah besar enggan berdomisili di perumahan itu karena kikuk. Misalnya, begini, mereka mempunyai tiga mobil bagus, tetapi di sebelah rumahnya sepeda pun tidak punya. Lalu timbul rasa rikuh, padahal sebagai warga yang mampu, yang memperoleh uang dengan jalan halal, mereka berhak membeli mobil beberapa buah, interior rumah yang berselera tinggi, halaman yang menawan, lampu yang mentereng, dan sebagainya.

Di atas kertas, ide penggabungan ini bagus, tetapi realitasnya tidak. Maka, jalan keluar yang juga baik adalah memberi mereka lapangan kerja dan pelatihan kerja yang sangat luas agar mereka memiliki penghasilan cukup.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com