Tradisi sukunya menyuruh perempuan melahirkan di tempat yang disebut ”kandang hina”, yang pemali didekati laki-laki. Ibu dan bayi harus tinggal, sering di udara terbuka di atas tanah saja, seminggu atau sampai tali pusar terlepas dan lukanya mengering. Wina yang masih muda sudah terlihat tua, letih digilas oleh praktik yang menyebabkan entah berapa banyak perempuan mati sia-sia, juga anak tak terselamatkan nyawanya.
Di belahan negara lain seperti di China, banyak perempuan harus merelakan rahimnya membengkak kelelahan diisi janin-janin yang terus dilahirkan, cuma untuk dibuang bila yang lahir perempuan (
Cerita di atas terasa sangat mengerikan dan sepertinya jauh dari kehidupan kita. Mungkin banyak dari kita akan bilang, ”Tetapi perempuan sekarang kan bisa melakukan apa saja. Bisa jadi pengusaha, menyetir mobil, bahkan jadi menteri dan lebih berkuasa daripada laki-laki.” Ada yang berpendapat perempuan perlu pendidikan tinggi agar dapat mendidik anak dan mendampingi suami dengan baik, tetapi tidak usah bekerja di luar rumah karena kodratnya sebagai perempuan adalah menjadi ibu dan melayani suami.
Salah satu topik paling mengundang perdebatan masyarakat, perempuan dan laki-laki, adalah topik tentang perempuan. ”Kodrat” selalu dibawa dalam percakapan, kadang kuat dibalut emosi, sepertinya dengan pemaknaan aneka rupa sesuai yang diinginkan penggunanya. Mulai dari kodrat perempuan itu ”lemah lembut”, ”emosional”, ”tergantung dan patuh pada laki-laki”, ”menjadi ibu”, hingga ke ”lebih senang
Persoalan perempuan dan konstruksi jender adalah persoalan lintas disiplin, lintas sektor, relevan dibahas di semua bidang, karena manusia itu setengahnya perempuan, setengahnya lagi laki-laki. Meski demikian, kajian ini masih dianggap tidak penting atau sering dipahami secara salah, sebagai ”ingin memerangi laki-laki”. Perempuan dan ”jender” itu berbeda meski erat terkait satu dan lainnya. ”Jender” sering disalahpahami sebagai ”perempuan”, padahal bicara tentang bentukan dan konstruksi sosial mengenai nilai, peran, hak dan kewajiban, apa yang pantas dan tidak pantas, yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki. Misalnya tentang tawuran dan perilaku-perilaku berisiko yang banyak dilakukan laki-laki, tentang Wina atau banyak perempuan lain yang rentan mati sia-sia dalam proses melahirkan karena pelanggengan praktik yang merendahkan (mengapa gubuk untuk melahirkan disebut ”rumah hina?”). Atau tentang kekerasan seksual yang bisa terjadi pada perempuan dan laki-laki, tetapi berdampak berbeda, tentang bagaimana perusakan alam dan perang bisa dialami secara sama oleh perempuan dan laki-laki (karena sama-sama manusia), tetapi juga berimplikasi berbeda karena keduanya dilekati dengan nilai dan peran berbeda.
Kajian jender menjadi kajian akademik yang sulit dipahami, terutama karena selama ratusan tahun orang membawa pengalaman pribadi, nilai dan kebiasaan hidup dalam masyarakat sebagai ”kebenaran” dan terus melanggengkannya, tidak lagi kritis terhadap praktik peminggiran perempuan bahkan dalam dunia akademik.
Tentang hal di atas, menarik untuk mengutip frase dalam pidato ilmiah bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, tentang femininitas, yang ditulisnya tahun 1932: ”
Ilmu pengetahuan itu tidak lepas dari bias jender. Cukup banyak orang hingga kini, termasuk ilmuwan psikologi, seperti Freud, membahas dan mengambil kesimpulan tentang perempuan, tanpa bertanya dan mencoba memahami dari sisi perempuan itu sendiri yang mengalami dan menjalani hidupnya. Bahkan, ilmuwan perempuan tidak jarang membawa bias jender itu. Karena itu, kajian jender yang mengungkap bias dan mengupayakan pengetahuan adil jender menjadi penting. Setelah situs dibajak dan rusak total, informasi mengenai Program Studi (Magister) Kajian Gender UI saat ini sedang ditata kembali dan dapat mulai dibaca dalam http://pskw.pps.ui.ac.id