Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Emas yang Mengubah Pulau Buru...

Kompas.com - 21/02/2012, 03:48 WIB

Oleh A PONCO ANGGORO

"Ya, ini emas, Bu!” ujar Turyono (30), warga Satuan Permukiman II, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku, kepada istrinya, Masriah (30), awal Januari lalu. Namun, Masriah tidak langsung percaya pada bebatuan kecil berwarna kuning yang disebut emas oleh Turyono. Maklum, ini bukan yang pertama kalinya.

Sekitar lima tahun lalu, Turyono pun membawa pulang bebatuan kecil berwarna kuning yang mengilat. Bebatuan itu diyakini Turyono sebagai emas. Dia pun membawa bebatuan itu ke sejumlah pedagang emas di Jawa. ”Namun, tidak ada pedagang yang mau membelinya karena batu itu bukan emas,” tutur Masriah.

Keraguan Masriah baru sirna saat Turyono membawa pulang sepeda motor baru, sesuatu yang paling diimpikan Turyono dan istrinya untuk membantu kegiatan sehari-hari. Sebelum ada sepeda motor, setiap hari Turyono harus berjalan kaki lebih dari 2 kilometer ke tempat kerjanya. Begitu pula Masriah saat harus ke pasar untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pokok.

Namun, impian itu sulit terwujud karena Turyono hanya petani kayu putih, sesekali bekerja sebagai kuli batu, dengan penghasilan tidak lebih dari Rp 800.000 per bulan. ”Uang itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi empat anak kami masih kecil,” ujar Masriah .

Emas seberat 65 gram yang dijual seharga Rp 22 juta dan dibelikan sepeda motor itulah hasil pertama Turyono dari mendulang material emas di areal perbukitan di Desa Wansait, Waeapo, Kabupaten Buru, di Pulau Buru, Maluku.

Kabar itu cepat tersiar ke seluruh Pulau Buru hingga ke daerah lain di Indonesia. Ribuan orang dari Sulawesi dan Jawa yang terbiasa mendulang emas di daerah asalnya berdatangan dengan kapal laut. Setibanya di Namlea, ibu kota Buru, mereka langsung ke Wansait, yang berjarak 60-an kilometer.

Areal perbukitan di Wansait yang semula dikeramatkan masyarakat adat—sehingga tidak ada yang berani masuk—lalu berubah ramai oleh aktivitas sekitar 12.000 pendulang dan pengepul yang membeli emas dari pendulang. Siang-malam, aktivitas itu seakan tak pernah surut. Mereka bahkan mendirikan tenda ala kadarnya sebagai tempat melepas lelah.

Eksploitasi emas tidak hanya dari material di permukaan tanah, tetapi juga di bawah tanah. Para pendulang menggali lubang hingga sedalam 5 meter, bahkan membuat terowongan yang memanjang sampai 10 meter. Karena saking banyaknya pendulang, jarak antarlubang hanya 1 meter, dan tidak jarang terowongan yang dibuat saling bertemu. Meski tebing perbukitan jadi rapuh dan rawan longsor, mereka tak lagi memedulikannya. ”Semakin dalam ke bawah tanah, emas yang ditemukan lebih banyak,” kata Jibril (35), pendulang asal Sulawesi Tenggara.

Jibril memperoleh 50 gram emas atau setara dengan Rp 19 juta setelah mengambil material di bawah tanah selama satu hari. Uang itu dibagi dengan dua rekannya sehingga ia memperoleh Rp 6,3 juta. Jumlah ini jauh lebih besar daripada yang diperolehnya saat mendulang emas di Bombana, Sulawesi Tenggara, yang saban hari hanya mendapat 1 gram emas. Besarnya uang itulah yang memicu Wansait dan hasil emasnya kini menjadi primadona. Masyarakat adat pemilik lahan tempat emas dieksploitasi yang mereka sebut Gunung Fudfavu pun ikut meraup untung. Setiap pendulang yang masuk diharuskan membayar Rp 100.000.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com