Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bulohseuma dan Harapan (Pilkada) yang Retak

Kompas.com - 01/02/2012, 19:25 WIB
Mohamad Burhanudin

Penulis

oleh M Burhanudin

Sudah 66 tahun Indonesia merdeka. Namun, justru sepanjang itu pula pengharapan warga Bulohseuma, Aceh Selatan, terbebas dari keterisolasian kian jauh panggang dari api. Tak ada jalan, tak ada listrik.

Gelap dan miskin membekap. Harapan mereka seakan kian retak saat elite politik lebih disibukkan dengan jibaku kekuasaan dalam Pilkada Aceh daripada membangunkan mereka seruas jalan.

"Kami benar-benar sudah muak dengan janji-janji. Tapi, lagi-lagi selalu itu yang kami dapatkan setiap menghadap pejabat," tutur Nasrudin, pertengahan Januari lalu sesaat setelah bertemu dua pejabat tinggi Pemerintah Provinsi Aceh.

Sore itu, Nasrudin, yang juga Panglima Laot Bulohseuma, bersama sekitar 15 perwakilan warga Bulohseuma, mendatangi Kantor Gubernur Aceh di Banda Aceh.

Harapan mereka satu, bertemu Gubernur Aceh dan menyatakan dengan tegas bahwa warga Bulohseuma ikhlas menyerahkan semua kartu tanda penduduk (KTP) ke Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan. Mereka ingin pindah ke Kota Subulussalam, yang secara geografis lebih dekat.

Pengembalian KTP tersebut sesungguhnya hanyalah bentuk ekspresi kekecewaan, keputusasaan, dan protes atas ketidakadilan yang mereka alami selama ini. Sudah tak terbilang berapa kali mereka menghadap pejabat dan berdemonstrasi di Pemkab Aceh Selatan, Provinsi Aceh, hingga ke DPR pusat, agar mereka dibangunkan jalan dan sambungan listrik. Kenyataannya, yang mereka dapat selama hampir 66 tahun Indonesia merdeka ini adalah janji tanpa realisasi.

Selasa sore itu, lagi-lagi, untuk kesekian kalinya pejabat Pemprov Aceh yang menemui mereka hanya mampu menggantang janji. Mereka hanya menjanjikan akan menanyakan ke Pemkab Aceh Selatan mengenai permintaan kami pindah. Mereka hanya bernjanji menanyakan soal jalan ke Dinas Pekerjaan Umum. Jawaban yang sama dengan setiap pejabat yang kami temui saat kami mengadu. Hingga kini tak ada realisasi itu, tutur Nasrudin.

Bulohseuma sesungguhnya adalah sebuah wilayah permukiman yang terdiri dari tiga desa di dalamnya, yaitu Kutapadang, Gampong Tengoh, dan Rakit. Wilayah ini berada di ujung selatan Kabupaten Aceh Selatan, berjarak 600 meter dari Banda Aceh. Di tiga desa tersebut bermukim sebanyak 870 jiwa.

Tak ada jalan yang menghubungkan Bulohseuma dengan daerah lain, termasuk untuk menuju ibu kota Kecamatan Trumon, yang berjarak 38 kilometer. Satu-satunya akses adalah hamparan pasir laut sebagai jalan.

Warga harus berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor di atas pasir laut yang kerap tak bisa dilalui karena amukan gelombang laut. Tak heran, terkurung selama berhari-hari sudah akrab dengan mereka saat cuaca buruk tiba. Tak heran pula, hampir setiap orang di Aceh Selatan memandang warga Bulohseuma sebagai warga terpencil.

Ketiadaan akses jalan bukan persoalan satu-satunya. Sejak permukiman itu ada, jaringan listrik tak pernah hadir. Kegelapan selalu mewarnai malam-malam warga. Hanya pelita lampu minyak sebagai penerangan. Kehidupan warga nyaris berhenti total saat petang tiba.

Keterbatasan itu juga berdampak pada tingginya angka keluarga prasejahtera di desa ini. Keuchik Desa Kutapadang, Abdul Manaf, mengungkapkan, sekitar 85 persen keluarga di Desa Kutapadang masuk kategori prasejahtera, lalu di Desa Rakit sekitar 30 persen, dan di Desa Gampong Tengoh mencapai 90 persen.

Angka buta huruf pun cukup tinggi. Di Desa Kutapadang diperkirakan mencapai 60 persen, lalu di Desa Rakit 40 persen, sedangkan di Desa Gampong Tengoh mencapai 60 persen. Mereka yang buta huruf tersebut rata-rata adalah warga di atas 35 tahun. Hal ini terjadi karena sekolah dasar dan menengah pertama baru ada di wilayah ini dalam beberapa tahun terakhir.

Angka putus sekolah tergolong tinggi, khususnya dari lulusan sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Apalagi dari lulusan sekolah menengah pertama ke menengah atas. Hanya sekitar 70 persen lulusan sekolah dasar yang melanjutkan ke jenjang SMP. Dan, hanya 25 persen lulusan SMP yang melanjutkan ke jenjang SLTA.

Dalam ujian nasional tingkat SMP lalu, 100 persen siswa gagal lulus. Beruntung dalam ujian susulan mereka dapat lulus.

Layanan kesehatan pun penuh keterbatasan. Ada dua bangunan klinik kesehatan masing-masing di Desa Kutapadang dan Rakit. Namun, dua bangunan itu terbengkalai. Ketiadaan petugas medis dan sarana pendukung layanan kesehatan di klinik membuat bangunan itu tak difungsikan.

"Sering ada ibu melahirkan meninggal karena tak bisa dibawa ke rumah sakit," kata Manaf.

Kemelut pilkada
Jauh dari Bulohseuma, di Tapaktuan, Banda Aceh, dan Jakarta, para elite politik yang semestinya mengurus dan memperhatikan nasib mereka lebih disibukkan dengan jibaku politik tanpa ujung. Saling gugat, debat, telikung, hingga provokasi lebih mengemuka dalam drama sandiwara bernama Pilkada Aceh.

Jadwal pilkada ditunda hingga lima kali. Aturan perundangan, putusan hukum, dan kompromi semu tak pernah cukup memuaskan dahaga kekuasaan mereka. Polemik yang merenggut hampir semua kesadaran dan perhatian para elite politik di Aceh untuk menyejahterakan masyarakat yang mereka pimpin, termasuk daerah tertinggal seperti Bulohseuma.

Di tengah kemelut politik tersebut, gangguan keamanan mengintai. Penembakan demi penembakan terjadi. Tensi ketegangan dan kecurigaan antarelite meningkat. Sesuatu yang kian menjauhkan dari darma utama mereka, yaitu menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Anggaran APBD terlambat dibahas. Program-program pembangunan terbengkalai, serta pengangguran meledak. Dan, Bulohseuma kian terpinggirkan.

Nasrudin tersenyum kecut saat Kompas bertanya, apa harapannya terhadap pilkada di Aceh yang sedianya akan digelar April 2012 nanti. Saya tak bisa berharap apa pun lagi, jawabnya singkat.

Untuk menggelar pilkada saja para elite kekuasaan tersebut tak mampu membangun solusi bersama, apalagi menyejahterakan masyarakat. Komitmen mereka sebagai pejabat lebih pada perjuangan kekuasaan, bukan menyejahterakan rakyat itu sendiri.

Dilusi
Sistem elektoral dalam transisi demokrasi di Aceh saat ini seakan mengedepankan sebuah dilusi klasiknya, penyanderaan kepentingan rakyat oleh elite-elite yang mewakili mereka secara prosedural.

Elite politik saling teriak, jegal, dan provokasi, mengatasnamakan rakyat Aceh, demi damai, yang sebenarnya tak lebih dari perjuangan kekuasaan mereka menggamit hasil paling memuaskan dalam pilkada.

Dalam dilusi itu, proses sosial politik yang terjadi di Aceh saat ini menghadirkan harapan-harapan retak di masyarakat. Kebingungan, ketakutan, dan kekecewaan yang disulut oleh ulah elite bertumpuk dengan persoalan kesejahteraan yang kian terpuruk.

Bulohseuma adalah satu contoh dari demikian banyak harapan yang kian retak di tengah deru kemelut ini di Aceh. Oleh karena itu, jika tak segera muncul kesadaran para elite akan tugas ideal mereka, Pilkada Aceh tak lebih hanya akan menjadi drama atas makin retaknya harapan rakyat.

Dan, jangan heran, bila kita akan segera mendengar kecaman seperti yang pernah diutarakan novelis, Pemenang Nobel, Saramago: Pemihan umum telah jadi representasi komedi absurd, yang memalukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com