Terlepas dari benar atau salahnya ramalan Mbah Ronggo, letusan besar memang tidak terjadi di Kelud pada tahun 2007. Padahal, 3 November 2007 suhu air danau sempat mencapai 74 derajat celsius, jauh di atas normal gejala letusan (umumnya berkisar 40 derajat celsius), dan terjadi getaran gempa tremor dengan amplitudo besar (lebih dari 35 mm).
Dua hari kemudian, terjadi gejala unik dengan munculnya kubah lava di tengah-tengah danau kawah. Kubah lava yang terus membesar itu kini menutup kawasan danau yang luasnya 109.000 meter persegi dan mengeringkan 2,5 juta meter kubik air yang tadinya menggenang di sana.
Keunikan dari Gunung Kelud, yang kerap juga disebut Gunung Kelut (1.731 m dpl), sebenarnya memang terletak pada sulitnya memperkirakan kapan gunung itu akan meletus. Gunung Kelud, berdasarkan survei Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, merupakan gunung api tipe stratovolcano.
Peningkatan aktivitas Kelud biasanya dilihat gejalanya melalui peningkatan suhu danau, kandungan CO2, gas belerang, dan perubahan warna air danau. Gunung Kelud akan meletus secara alami bila sudah terkumpul energi endogen cukup besar sehingga energi alam tersebut mampu menembus atau melontarkan material penyumbat. Dengan kondisi seperti ini, justru dapat terjadi ledakan yang dahsyat dan tiba-tiba.
Ledakan dahsyat Gunung Kelud sudah terbukti dalam peristiwa tahun 1919, yang menewaskan sekitar 5.000 orang.
Upaya mitigasi
Melihat bahaya dari sifat letusan Gunung Kelud, upaya mitigasi sudah mulai dilakukan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Usaha mengurangi air danau kawah merupakan upaya pertama yang dilakukan. Hugo Cool tahun 1907 memimpin usaha penggalian saluran melalui pematang atau dinding kawah bagian barat. Usaha itu berhasil mengeluarkan air 4,3 juta meter kubik.
Setelah letusan tahun 1919, upaya pengurangan air danau kawah terus dilakukan HG Von Steiger (1919-1923), Hettinga Tromp (1923-1928), dan MJ Van Yzendroom (1953-1955). Ahli tambang Indonesia, Adeli Ayub (1966-1967), memimpin penggalian meneruskan terowongan Ampera yang dirintis Yzendroom dan merehabilitasi terowongan Ganesya.
Selain terowongan, upaya pengendalian aliran lahar juga dirintis dengan membangun Dam Badak tahun 1951 meski dam ini kini sudah hancur.
Sikap terhadap bahaya gunung api aktif ini sayangnya kurang mendapat perhatian pemda. Walaupun sebagian kawasan Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang rentan terdampak langsung erupsi Kelud, kesiapan organisasi mitigasi masih lemah.
Selain minim data, sistem keorganisasian juga belum ada. Karena itu, masyarakat tak bisa banyak berharap kepada pemda....
Ikuti perkembangan Ekpedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui Facebook page: Ekspedisi Cincin Api atau Twitter: @ekspedisikompas
Lihat Ekspedisi Cincin Api - Kelud Penanggungan di peta yang lebih besar