Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyerap Kebaikan Budaya Tionghoa

Kompas.com - 24/01/2012, 04:08 WIB

Wangi dupa, buah-buah segar sebagai persembahan, lampion berwarna merah, dan berbagai pernik selalu mewarnai kemeriahan Tahun Baru Imlek. Namun, tradisi dari ”Negeri Tirai Bambu” itu bukan satu-satunya kebudayaan yang diserap dan dilaksanakan di Indonesia.

Umumnya masyarakat keturunan Tionghoa dikenal memiliki etos kerja bertanggung jawab dan kedisiplinan yang layak ditiru. Dalam pekerjaan, kesungguhan dan keuletan mereka menjadi kunci sukses.

Tidak heran, etos kerja seperti itulah yang diserap di Indonesia. Bahkan, warga non-Tionghoa juga mencoba mengikuti kesuksesan tersebut, terutama dalam berbisnis, misalnya dengan mempelajari bahasa Mandarin.

Dengan mengerti, apalagi menguasai bahasa Mandarin, pintu menuju keberhasilan mulai terbuka. Keberhasilan bisa menjangkau berbagai bidang, mulai perekonomian dan perdagangan sampai hubungan internasional.

Seperti Judika B Manurung (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Saat duduk di bangku SMP, dia mulai mengenal istilah Hokkian.

”Lebih dari 90 persen temanku di SMP Methodist (Medan) merupakan keturunan Tionghoa, yang sehari-hari bicara dengan bahasa Hokkian,” tuturnya.

Semula Judika, yang kini mengikuti semester 8 Jurusan Sosiologi, mengalami ”pukulan” sebab sebelumnya dia tergabung dengan SD negeri. Berada di lingkungan yang baru, ternyata hampir semua temannya menggunakan bahasa Hokkian saat berkomunikasi.

”Lama-kelamaan aku pikir enggak akan punya teman kalau enggak ikutan omong bahasa Hokkian,” ujarnya.

Dengan pemahaman itu, dia mengetahui bahwa, suka atau tidak, dirinya harus memperhatikan teman-teman di lingkungan sekolah barunya itu.

Apalagi, Judika merasa bukan siswa istimewa. Meski termasuk dalam 10 besar di kelas, toh dia bukan tergolong tiga besar.

”Jadi, aku harus mempunyai teman dan, biar mudah diterima, aku harus bisa bahasa mereka juga,” ucap Judika menceritakan motivasi awalnya mempelajari bahasa Hokkian.

Waktu kelas 1 SMP, sulung dari empat bersaudara ini masih sebatas mendengar dan berusaha memahami percakapan teman-temannya. Naik ke kelas II SMP, Judika memberanikan diri untuk bicara.

”Namun, aku diledek. Kata teman-teman, mending enggak usah omong soalnya kalau ngomong bahasa Hokkian enggak karuan," ujarnya mengenang.

Percaya diri

Dia menganggap kesempatan untuk mempelajari bahasa Hokkian sangat terbatas, yaitu saat di sekolah pagi sampai siang hari. Setelah mencoba-coba bicara sewaktu duduk di kelas II, di kelas III SMP, Judika makin percaya diri bicara dalam bahasa Hokkian meski masih juga sering salah.

”Kalau kita enggak coba-coba, biarpun salah, kapan bisanya? Biar sajalah, kan kita memang masih belajar,” kata Judika.

Saat di bangku SMA, dia berada di sekolah yang sama, yaitu SMA Methodist, Medan. Jadilah di sini pun sebagian besar temannya juga menggunakan bahasa Hokkian.

Bedanya, di sini Judika mengikuti berbagai kegiatan, mulai paduan suara, pengibar bendera, sampai aktif dalam majalah sekolah.

”Teman-teman yang suka berorganisasi itulah yang banyak mengajari saya bicara bahasa Hokkian dengan benar tanpa banyak mengeluh,” tuturnya.

Tidak berhenti hanya belajar bahasa Hokkian, sejak tahun lalu Judika belajar bahasa Mandarin. Salah satu faktor yang mendorong dia belajar bahasa tersebut adalah agar mengerti jalannya kebaktian di gereja yang menggunakan bahasa pengantar Mandari. ”Aku cuma ngerti beberapa artinya,” ungkapnya.

Judika menganggap bahasa Mandarin sebagai salah satu bahasa tersulit di dunia. Namun, itu bukan berarti dia menyerah begitu saja. Sebaliknya, dia makin termotivasi mempelajari bahasa tersebut.

”Penting banget buat aku karena di sekitarku banyak orang yang aktif berbahasa Mandarin,” ujarnya.

Bagi dia, bahasa Mandarin kelak sangat berguna saat memasuki dunia kerja. Saat ini, kaum muda tidak cukup menguasai bahasa Inggris saja.

”Misalnya mau kerja di NGO (non-governmental organization), kan kita harus menguasai bahasa asing selain bahasa Inggris,” kata Judika.

Bahasa Mandarin pun sangat penting, terutama saat berinteraksi dengan orang lain. Bagi dia, bahasa Mandarin merupakan bahasa yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.

”Bukan saja di hampir tiap kota ada kawasan pecinannya, bahkan di semua negara ada pecinan,” tuturnya mengingatkan.

Banyak penggunanya

Dia lalu mengajak berhitung. Mengingat jumlah penduduk Tionghoa ditambah keturunan Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, jumlah pengguna bahasa Mandarin tidak ada tandingannya.

”Jadi, kalau kita bisa berbahasa Mandarin, aku yakin kita bisa hidup di mana pun tanpa perlu khawatir,” ujar gadis yang tengah menyiapkan peluncuran bukunya itu.

Tidak berbeda jauh, Febryanty Putry (20) yang sedang studi di Fakultas Ilmu Ekonomi dan Sosial, Universitas Bakrie, Jakarta, menganggap bahasa Mandarin tidak sebatas milik warga keturunan Tionghoa. Apalagi, bahasa Mandarin merupakan ”bahasa internasional”.

”Kalau kita bisa berbahasa Mandarin, selain bahasa Inggris, itu berarti kita mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan orang yang hanya fasih berbahasa Inggris,” ucapnya.

Kalau ingin bisnis maju, kaum muda sekarang dituntut untuk mengerti bahasa Mandarin. Menurut dia, untuk berbisnis, bahasa Mandarin bisa dikatakan menjadi satu keharusan.

Dia memberi contoh, saat berbelanja di kawasan Glodok, Jakarta, tidak sedikit pengunjung yang menggunakan bahasa Mandarin. Dalam kondisi demikian, biasanya pedagang ”menyerah” dengan harga yang diberikan konsumen.

”Kalau bisa berbahasa Mandarin, kita bisa memperoleh barang-barang dengan harga lebih murah,” katanya.

Oleh karena itu, selulus program S-1 nanti, ia ingin melanjutkan belajar bahasa asing. Dia memang sempat belajar bahasa Mandarin sekitar enam bulan, tetapi tak berlanjut karena khawatir kesulitan membagi waktu dengan kegiatan kuliahnya.

Semakin diminati

Xin Yubao, pengajar di Jakarta Training Center, Jakarta Barat, mengatakan, peminat bahasa Mandarin makin banyak. Umumnya orang yang mempelajari bahasa Mandarin telah berstatus karyawan.

”Siswa yang belajar bahasa Mandarin itu karyawan, guru, mahasiswa, sampai ibu rumah tangga. Sepertinya memang asyik belajar bahasa Mandarin, apalagi kalau kita bisa membaca puisi yang umurnya ribuan tahun,” kata Xin Yubao, yang menjadi penutur asli di Jakarta Training Center.

Xin Yubao mengatakan, belajar bahasa Mandarin tidaklah terlalu sulit kalau dengan sungguh-sungguh. Dia menceritakan, salah satu murid yang belajar bahasa Mandarin selama 1,5 tahun mampu membaca drama Tiongkok yang dia dapatkan dari internet.

”Asal belajar intensif, pasti kita bisa,” katanya.

Tradisi suku atau bangsa tertentu tidak perlu dikotak-kotakkan dan sebatas milik mereka. Apabila mereka mempunyai kelebihan yang positif, kita bisa menyerapnya. Contohnya, Putry menganggap etos kerja keturunan Tionghoa layak ditiru. Salah satunya adalah giat dalam berusaha tanpa harus merasa malu.

(Fabiola Ponto/ Susie Berindra)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com