Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Banjir Air "Aki" dari Ijen

Kompas.com - 19/01/2012, 03:22 WIB

Oleh Indira Permanasari/Siwi Yunita Cahyaningrum/Ahmad Arif

Aliran Kali Banyuputih yang asam telah menggerogoti kesehatan warga Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Petaka lebih besar bisa terjadi jika Gunung Ijen yang menjadi sumber Kali Banyuputih meletus dan menumpahkan banjir bandang air ”aki”.

Hulu Sungai Banyupahit begitu senyap. Tak ada kecipak ikan ataupun serangga. Bahkan, lumut pun tak sanggup tumbuh di bebatuan dasar sungai, yang mengalir nyaris tanpa henti itu.

Kehidupan memang nyaris muskil hadir di hulu sungai yang berbatas dengan dinding kawah Gunung Ijen itu.

Kadar keasaman air (pH) di hulu Sungai Banyupahit yang mencapai 0,8 (pH netral 7) membuat sungai itu seperti mengalirkan air racun bagi kehidupan. ”Dari Banyupahit, air asam ini kemudian dialirkan hingga Sungai Banyuputih, yang sebelumnya bertemu dengan air Sungai Sat dan Sengon yang ber-pH netral,” kata peneliti Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Sri Sumarti, awal November 2011. ”Di Banyuputih kadar keasaman air berkisar 3-4.”

Sore itu, Sri menunjukkan perjalanan air asam dari Kawah Ijen hingga ke Sungai Banyuputih, yang selama bertahun-tahun meracuni ribuan warga Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Situbondo, Jawa Timur.

Rembesan

Sri mengatakan, kadar air asam di Sungai Banyupahit ini diakibatkan rembesan air kawah Ijen. ”Ada bagian dari danau kawah yang tidak kedap air sehingga merembes ke luar danau,” ujar Sri yang meneliti kawah Ijen sejak tahun 1996. ”Rembesan itu kemudian muncul sebagai sumber air bagi Sungai Banyupahit.” Rembesan air kawah Ijen mulai, menurut Sri, terjadi di ketinggian 1.850 mdpl.

Namun, menurut Stephanie Palmer, dalam laporan tesisnya ”Hydrogeochemistry of the upper Banyu Pahit River valley, Kawah Ijen volcano” (2008), pencemaran Sungai Banyupahit tidak ada kaitannya dengan bocornya kawah Ijen. Kesimpulan itu dibuatnya setelah mengidentifikasi tiga mata air asam di hulu Banyupahit. Dia lalu membandingkan komposisi kimia airnya.

Mata air pertama yang berada di sebelah barat kawah, menurut Palmer, merupakan rembesan kebocoran air kawah di ketinggian 2.090 mdpl dengan pH kurang dari 1. Di lokasi ini, terhampar ladang gipsum yang merupakan hasil reaksi pertemuan air asam dengan batuan gamping. Namun, aliran dari mata air ini menghilang ke dalam tanah.

Mata air lainnya berada di ketinggian 2.075 mdpl dan memiliki kandungan air kawah. Air ini hanya sesaat mengalir di permukaan, kemudian kembali meresap ke dalam tanah.

Mata air asam ketiga berada paling rendah (1.975 mdpl) dan ditandai dengan air berwarna kuning kehijauan. Palmer berpendapat, mata air itu tidak berhubungan dengan air kawah Ijen dengan alasan komposisi kimia airnya yang berbeda dengan air kawah.

Mata air pertama mengandung 95 persen rembesan air kawah dan 5 persen air tanah. Adapun mata air ketiga yang memiliki debit 15,4 liter per detik merupakan produk hidrotermal, hasil aktivitas magma Gunung Ijen yang tidak terkait dengan air kawah. ”Banyupahit mendapatkan air asam dari mata air ini, bukan ’kebocoran’ air kawah seperti anggapan selama ini,” sebutnya.

Mata air asam itu pula yang, menurut Palmer, kemudian mencemari Banyupahit dan Banyuputih. Sedangkan, kedua mata air asam lainnya yang alirannya melesap ke dalam Bumi belum diketahui dampaknya lantaran tidak kontak dengan air permukaan.

Kawah Ijen

Dari mana pun sumber air asam di Banyupahit dan Banyuputih, aktivitas kompleks Ijen memang mengkhawatirkan. Ancaman terbesar berupa jebolnya danau kawah Ijen yang menyimpan 30 juta meter kubik air asam dengan pH 0-0,8. Jika tersentuh kulit bisa gatal-gatal, bahkan melepuh.

Memiliki panjang 800 meter dan lebar 700 meter dengan kedalaman 180 meter, kawah Ijen merupakan salah satu danau berair asam terbesar di dunia. Di belahan bumi lain, sejumlah mata air asam di Gunung Poás di Kosta Rika. Di Selandia Baru, aktivitas gunung api Ruapehu mencemari Sungai Whangaehu.

Sri Sumarti mengatakan, kawah Gunung Ijen (2.346 mdpl) berada di pinggir timur kaldera purba Ijen, yang terbentuk sekitar 50.000 tahun lalu. Sebelumnya, Gunung Ijen purba berbentuk kerucut berketinggian 3.500 mdpl.

Dasar kawah Gunung Ijen yang kedap membuat air tertampung dan akhirnya membentuk danau kawah. ”Di gunung lain, seperti Kelud, berpotensi terbentuk air asam. Namun, lantaran gunung itu sering meletus, belum sempat terbentuk keasaman sudah terjadi erupsi,” ujarnya.

Berbeda dengan Gunung Ijen yang jarang meletus. Akibatnya, gas pembentuk air asam, seperti sulfur dioksida (SO2), karbon dioksida (CO), hidrogen sulfida (H2S), klor (Cl), fluor (F), dan asam klorida (HCl), terus terakumulasi. ”Jika unsur-unsur ini bereaksi dengan air selama ratusan tahun, akan menjadi air asam,”ujar Sri.

Air yang sangat asam sehingga menyerupai air aki inilah yang menjadi ancaman terbesar Gunung Ijen. ”Ijen tidak main- main. Kalau sampai meletus, bisa mengakibatkan ’tsunami’ air aki,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono.

Sejak status Ijen menjadi Siaga (level III) pada 18 Desember 2011, Surono dan para peneliti gunung api dari PVMBG terus memantau Gunung Ijen. Dalam sejarahnya, letusan Ijen pernah menimbulkan kehancuran besar.

Menurut catatan Taverne (1926) dalam Kusumadinata (1979), saat meletus 1817, Ijen mengirim banjir lumpur air asam yang sebagian besar melalui Sungai Banyupahit. Padahal, Banyupahit merupakan hulu dari Sungai Banyuputih yang lembahnya dihuni 12.000 jiwa.

Bahkan, menurut Palmer, letusan tahun 1817 itu telah menumpahkan isi danau dan menyebabkan banjir lumpur asam yang mencapai Kota Banyuwangi, lebih dari 25 kilometer dari Ijen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com