Oleh perangkat desa setempat, ke-171 orang ini disebut ”ahli waris”, meski tidak ada hubungan keluarga dengan sembilan janda dan satu korban penerima santunan dari Belanda.
Keterangan yang dihimpun dari Rawagede, Rabu (21/12), menyebutkan, pembagian tersebut merupakan solusi atas kisruhnya tuntutan 171 warga lainnya yang juga berharap jatah santunan.
Pada 14 September 2011, pengadilan Den Haag memvonis Pemerintah Belanda bersalah dalam kasus pembantaian di Rawagede, 9 Desember 1947. Belanda diwajibkan membayar kompensasi kepada sembilan janda dan satu korban yang terdaftar sebagai penuntut.
Sejak pekan lalu, para janda dan korban mulai mencairkan santunan yang ditransferkan ke rekening yang mereka tunjuk sebesar 20.000 euro (Rp 220 juta).
Namun, tuntutan muncul dari 171 anak, cucu, dan ahli waris korban Rawagede lainnya yang tak terdaftar dalam gugatan. Mereka meminta jatah dari santunan yang diberikan Pemerintah Belanda. Akhirnya, desakan itu dialamatkan ke para janda dan korban penerima santunan.
”Kami tidak ingin situasi memanas gara-gara uang santunan ini. Keluarga ikhlas menyerahkan separuh untuk dibagi kepada 171 ahli waris itu,” kata Tasmin (62), anak Saih bin Sakam (almarhum), korban Rawagede.
Tasmin mengungkapkan, separuh dari dana santunan yang dia cairkan, pekan lalu, disetor ke pemerintah desa sebagai koordinator 171 ahli waris.
Dewi (20), cucu angkat janda Lasmi (80), yang dikuasakan menerima dana santunan, mengaku telah menyerahkan dana Rp 110 juta ke aparat desa.
Jumlah potongan dana santunan versi beberapa keluarga janda korban dan kepala desa tak sinkron. Beberapa keluarga korban menyebut santunan dipotong separuh dari Rp 220 juta atau Rp 110 juta. Namun aparat desa membantah dan mengaku hanya memotong Rp 100 juta.