Mesuji, Kompas -
Nengah Sugandra (41), warga Morodadi, mengatakan, karena menempati areal PT Silva Inhutani, warga Moro-Moro disebut warga ilegal. Selain orang dewasa tidak bisa memiliki kartu tanda penduduk (KTP) dan hak pilih, anak-anak yang lahir di darah itu juga tidak bisa memperoleh akta lahir.
”Bagi kami, yang penting punya SIM (surat izin mengemudi). Tinggal serahkan saja kepada biro jasa, dia yang atur alamat kami di mana dan mau pakai KTP mana,” katanya.
Karena dianggap ilegal itulah, pemerintah tidak mendirikan sekolah ataupun fasilitas kesehatan di Moro-Moro. Warga terpaksa membangun sendiri 3 taman kanak-kanak, 3 sekolah dasar, dan 1 sekolah menengah pertama.
Warga Simpang Asahan, Putu Sudana (32), mempertanyakan 10 tahun lebih negara tak mengakui kewarganegaraan orang Moro-Moro. Namun, warga penggarap di register lain, yaitu Register 44 dan 42, bisa memiliki KTP. Padahal, mereka masuk ke areal PT Silva Inhutani dan saat menggarap berbarengan waktunya dengan warga Moro-Moro.
Warga di kawasan Moro-Moro pertama kali menggarap lahan PT Silva Inhutani pada tahun 1997-1998. Saat masuk ke kawasan tersebut, mereka tidak tahu lahan siapa itu. Warga Lampung Tengah dan sekitarnya yang tak memiliki lahan garapan pun mulai masuk.
Kini, warga di daerah Moro- Moro berjumlah 1.300 keluarga atau 5.311 jiwa, menempati lima dusun (Simpang Asahan, Moro Dewe, Moro Dadi, Moro Seneng, dan Suka Makmur). Mereka mengklaim menempati lahan seluas 2.444 hektar.
Relawan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra), Eko Badai, mengatakan, masalah ini sangat menghambat warga dalam mengakses pelayanan dasar dari pemerintah.