Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kearifan Lokal di Sekitar Gunung Agung

Kompas.com - 19/12/2011, 15:48 WIB
BI Purwantari/Litbang Kompas


Tipisnya budaya sadar bencana sering kali dikaitkan dengan masih kuatnya tradisi lokal. Adat istiadat dianggap menghambat mitigasi bencana. Namun, dalam beberapa hal, kearifan lokal tentang hubungan manusia dan alam dapat menjadi dasar mitigasi modern.

Erupsi hebat Gunung Agung pada 17 Maret dan 16 Mei 1963 membawa serta lava pijar dan kolom api berbentuk cendawan yang mencapai ketinggian 10 kilometer di atas kawah. Abu letusan bahkan tersebar ke arah barat hingga menutupi bandara Surabaya di Jawa Timur, sementara hujan abu halus mencapai Jakarta yang berjarak 1.000 km (Jurnal Geologi Indonesia, 2006).

Tak kurang dari 1.148 nyawa melayang dan 296 orang luka-luka. Tak hanya itu, muntahan gunung berketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut itu juga menyebabkan 62.000 hektar lahan produktif porak poranda. Akibatnya, bencana kelaparan dan kekurangan gizi parah menimpa lebih dari 10.000 orang. Gelombang pengungsian sekitar 75.000 manusia dari sekitar Karangasem, Klungkung, Bangli, dan Gianyar menyerbu kota-kota besar, Denpasar dan Singaraja (Robinson, 2005).

Memori tentang peristiwa tersebut melekat di benak warga sekitar Gunung Agung. Mangku Gde Umbara (48), pemangku adat Desa Sebudi, Kecamatan Selat, menuturkan, ”Di desa ini banyak korban meninggal saat itu. Beberapa orang yang sudah mengungsi, tetapi kembali untuk menengok rumah dan ladang, menjadi korban.” Material erupsi Gunung Agung saat itu jatuh mengarah ke timur sehingga Kecamatan Selat merupakan salah satu area yang paling parah.

Empat dasawarsa kemudian, potensi bencana dirasakan langsung warga melalui gempa-gempa kecil yang kerap terjadi. ”Kalau gempa kecil sering, tetapi tidak bahaya,” ujar Umbara.

Pengalaman dan ingatan masa lalu itu tak serta-merta membentuk kesadaran tentang hidup di wilayah bencana. Survei yang dilakukan Litbang Kompas di Karangasem pada Juli 2011 memperlihatkan, dari 105 warga yang diwawancarai, 51 persen mengaku tidak tahu bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana.

Tradisi kuat

Kesadaran masyarakat tentang bencana berkorelasi dengan cara mereka memandang alam dan lingkungan sosialnya. Sebagian masyarakat Bali memandang gunung sebagai simbol kesucian. ”Dalam kepercayaan mereka, jiwa yang terlepas dari jasmani akan menuju tempat suci, yakni tempat yang lebih tinggi. Di tempat yang lebih tinggi inilah ia bereinkarnasi menjadi orang yang kemampuan dan kedudukannya lebih baik lagi. Gunung Agung adalah gunung tertinggi di Bali sehingga dianggap sebagai gunung yang paling suci,” papar Raka Santeri, budayawan Bali.

Maka, dalam tradisi Bali, membangun Pura Pasar Agung tak jauh dari puncak Gunung Agung yang masih aktif adalah bagian dari kepercayaan lokal. Seperti dituturkan I Wayan Gunatra, pemangku adat Desa Besakih, ”Secara logika mungkin konyol membangun pura dan tinggal dekat gunung berapi. Namun, itulah cara hidup dan keyakinan kami bahwa tinggal di sini pasti dilindungi oleh Sang Pencipta.”

Makna kesucian ini membuat masyarakat tak khawatir harus tinggal di daerah berpotensi bencana. Namun, di sisi lain, institusi agama mengajarkan tentang bagaimana manusia harus berhubungan dengan alam dan mempraktikkan tradisi dalam bentuk berbagai upacara adat. Fungsi upacara ini untuk mengingatkan umat agar menjaga kelestarian alam di sekitar tempat-tempat suci, seperti Gunung Agung. Upacara Wana Kertih, misalnya, diselenggarakan untuk memohon terwujudnya kelestarian lingkungan dan harmonisasi alam sehingga tak terjadi bencana.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com