Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sarden Kalengan Pun Tak Lagi Berasal dari Muncar

Kompas.com - 16/12/2011, 04:03 WIB

Melimpahnya ikan sarden adalah masa lalu di Pantai Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pantai yang pernah menjadi salah satu pusat industri pengalengan ikan terbesar di Indonesia ini kini hanya menyisakan penganggur dan buruh yang khawatir terkena pemutusan hubungan kerja. Kurangnya pemeliharaan ekosistem pantai dan minimnya keberlanjutan perikanan menjadikan ikan sarden kian menghilang.

Sekitar sepuluh tahun lalu, menjaring sarden di Selat Bali semudah menjaring ikan di empang. Nelayan dengan perahu-perahu slereg tradisionalnya bisa membawa pulang 10-20 ton ikan sekali melaut.

Jumlah ikan yang mereka kumpulkan bahkan pernah mencapai 60.393 ton per tahun berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur. Dari jumlah itu, hasil tangkapan sarden paling mendominasi, yakni mencapai 54.000 ton per tahun.

Kehidupan nelayan, menurut Misman (45), salah seorang juragan kapal, tergolong makmur. Setiap kali memperoleh tangkapan, nelayan biasanya mampu membeli kendaraan roda dua meski kredit. Nelayan berlevel juragan bisa membuat perahu baru yang harganya mencapai sekitar Rp 200 juta.

”Muncar menjadi sangat ramai. Banyak orang datang ke sini untuk ikut melaut. Ada juga yang ikut bekerja menjadi buruh pabrik pengalengan. Kapal-kapal hilir mudik. Pasar ikan penuh orang setiap pagi,” ujar Misman.

Tingginya perputaran uang di Muncar juga tergambarkan dari banyaknya bank besar yang mendirikan cabangnya di kecamatan ini. Ruang pamer motor bahkan ada di koperasi-koperasi kecil.

Terpaksa impor

Muncar sejak sepuluh tahun lalu dikenal sebagai penghasil ikan sarden. Banyaknya tangkapan ikan sarden membuat industri berskala nasional membangun pabrik pengalengan ikan sarden di wilayah ini.

Sepuluh tahun lalu ada 12 perusahaan pengalengan ikan berskala nasional yang membuka pabrik di kecamatan tersebut. Selain itu, tercatat pula 15 pabrik tepung dan minyak ikan. Ramainya transaksi ikan itu juga diikuti dengan banyaknya usaha tempat penyimpanan ikan yang jumlahnya tak kurang dari 20 unit.

Namun, lima tahun sesudahnya, kondisi perikanan Muncar memburuk. Seolah mengalami paceklik ikan yang tak berkesudahan, hasil tangkapan ikan nelayan berkurang drastis.

Tahun 2009, jumlah tangkapan hanya mencapai 32.782 ton per tahun. Jumlah tangkapan terus berkurang hingga pada 2010 tercatat hanya 22.046 ton per tahun.

Penurunan tangkapan itu membuat pabrik-pabrik pengalengan ikan yang sudah eksis terpaksa harus mendatangkan ikan impor dari China, Taiwan, dan India. Ikan impor pun tak mampu memenuhi kebutuhan mereka karena dari kebutuhan 65 ton per pabrik per bulan hanya tercukupi setengahnya. Harga impor yang tergolong tinggi pun terpaksa diterima.

Supriyadi dari Humas PT Sumber Yala Samudera mengungkapkan, harga ikan impor mencapai Rp 6.500 per kilogram. Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga ikan sarden lokal yang dulu sekitar Rp 3.500 per kg.

”Tapi, apa boleh buat karena memang tak ada barang. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit sekali dan harganya bisa Rp 7.000 per kg,” ujar Supriyadi.

Pabrik Supriyadi tergolong beruntung karena masih bisa beroperasi. Lima pabrik pengalengan lain bahkan sudah tutup karena tak mendapatkan pasokan bahan baku ikan sama sekali.

Penurunan hasil tangkapan ikan juga mematikan industri kecil lain. Bisnis penyimpanan ikan (cold storage), misalnya, kini hanya bisa bertahan seadanya. UD Sinar Bahari, contohnya, hanya menyimpan 10 ton ikan, padahal kapasitas ruangnya mencapai 20 ton.

”Beban listrik tetap sama. Ini sudah berlangsung dua tahunan. Karyawan dulu berjumlah 10 orang, kini hanya cukup 2-3 orang,” kata Dedi, karyawan UD Sinar Bahari.

Gambaran lesunya Muncar juga tecermin dari suasana tempat pelelangan ikan sehari-hari. Hampir setiap pagi tak ada aktivitas yang mencolok karena sering kali nelayan hanya pulang tanpa membawa ikan.

Lahan jemur ikan asin pun sering kosong, kadang hanya terisi setengah. Mariam, perajin ikan asin, mengaku tak lagi bisa mendapatkan ikan layar untuk diasinkan setiap hari. Kaum ibu yang sebelumnya mempunyai pekerjaan sampingan membuat ikan asin pun banyak menganggur.

Tak dikelola

Menghilangnya sarden di perairan Bali tak lepas dari persoalan kurangnya pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. Pemerintah daerah mengizinkan banyak pabrik berdiri, tetapi tanpa disertai pengawasan pengolahan limbah yang ketat. Eksploitasi terhadap sumber daya laut pun terus dilakukan.

Selama ini, wilayah Selat Bali sudah tercemar limbah industri besar dan kecil. Limbah itu dihasilkan oleh pabrik yang mengolah ikan di Muncar. Limbah-limbah tersebut mengalir dari selokan menuju sungai yang bermuara ke Selat Bali.

Pencemaran itu, menurut Sukisman, nelayan di Muncar, sudah berlangsung lebih dari lima tahun. ”Saat hujan tiba, baunya menyebar hingga ke perkampungan. Warna selokan pun bisa jadi putih,” katanya.

Limbah itulah yang dituding nelayan sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya ikan di perairan Selat Bali. Akan tetapi, menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi, tidak hanya pencemaran yang menjadi persoalan utama menghilangnya ikan di sana. Perilaku nelayan juga berpengaruh.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi Pudjo Hartanto, beberapa waktu lalu, mengatakan, penangkapan ikan yang berlebih juga menjadi salah satu faktor berkurangnya jumlah ikan di Selat Bali.

Satu perahu nelayan, tiga tahun lalu, bisa menangkap 10 ton ikan per hari. Dari tangkapan itu, tidak semuanya bisa dijual. Sebagian ikan yang rusak karena busuk atau tak utuh dibuang ke laut.

Selain penangkapan berlebih, ekosistem pendukung biota laut di Selat Bali juga sudah rusak. Banyak terumbu karang tak utuh lagi. Hutan bakau pun berubah menjadi tambak.

Hal itu diperparah lagi dengan pencemaran limbah pabrik pengolahan ikan yang masih terlihat di radius 300 meter dari tepi pantai.

Kurangnya pengawasan serta tidak adanya rencana pengelolaan pantai dan ekosistem yang jelas selama bertahun-tahun memang telah membuat Pantai Muncar yang kaya akan ikan akhirnya rusak. Kini, tidak hanya nelayan yang menderita karena paceklik, tetapi juga buruh pabrik yang terancam pemutusan hubungan kerja dan pemilik pabrik yang terancam gulung tikar.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan masyarakat pesisir kini mulai membenahi Muncar. Lima pabrik di Muncar telah dikenai sanksi oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan pemerintah pusat karena membuang limbah ke Selat Bali. Mereka tidak diizinkan beroperasi jika belum mempunyai instalasi air limbah yang memadai. Pengawasan terhadap industri kecil pun dilakukan.

Sementara ini, untuk memulihkan kondisi selat, nelayan mulai membuat zona penyangga untuk pemijahan ikan. Zona penyangga yang terletak di Kayuaking, Kecamatan Tegal Dlimo, Banyuwangi, itu digunakan sebagai tempat pembesaran ikan. Wilayah tersebut tertutup untuk penangkapan ikan dalam bentuk apa pun.

Selain itu, benih ikan juga disebar. Setidaknya 10.000 bibit ikan kerapu dan udang atau ikan yang berekosistem di dasar laut ditebar sebagai induk pembibitan ikan baru. Masyarakat nelayan yang tergabung dalam Samudera Bhakti di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, pun telah membuat terumbu karang buatan sebagai pengganti terumbu karang yang saat ini rusak karena bom nelayan atau pemanasan global.

Gerakan yang dilakukan masyarakat dan pemerintah mungkin terlambat. Gerakan itu baru muncul setelah Muncar sudah mengalami kerusakan ekosistem dan penurunan produksi ikan. Namun, setidaknya kini penataan mulai dilakukan. Muncar mungkin tidak akan pulih seketika, tetapi sedikitnya ada harapan ikan sarden kembali mengisi kaleng-kaleng kosong di Muncar.

(Siwi Yunita Cahyaningrum)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com