Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Eropa Lebih Parah dari Sekadar Utang

Kompas.com - 10/11/2011, 18:19 WIB
Orin Basuki

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Permasalahan yang dihadapi Uni Eropa sebenarnya jauh lebih besar dari sekadar pembengkakan utang yang tidak terbayar, melainkan lebih dalam lagi, yakni pincangnya daya saing pada sebagian besar negara-negara di zona tersebut.

Selain Jerman dan Perancis, 15 anggota Uni Eropa yang lain sebenarnya setengah dipaksa untuk "berlari" sekencang kedua negara tersebut dalam membangun perekonomiannya.

"Pada tahun 1995, ketika mata uang euro dibuat, semua negara anggota Uni Eropa disuruh lari dengan start (awalan) yang sama. Namun, ketika dilepas, negara-negara itu berlari dengan kecepatan berbeda, karena daya saingnya berbeda. Akibatnya, Yunani dan Italia kedodoran. Jika tidak ada zona euro, mata uang Italia dan Yunani seharusnya sudah didevaluasi," ujar Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute, Wijayanto, di Jakarta, Kamis (10/11/2011), saat berbicara dalam diskusi "Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Siapkah Kita?" yang digelar Financial Freedom Institute dan Departemen Keuangan Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrat.

Sebagai gambaran, Wijayanto menyebutkan krisis di Amerika Serikat. Utang pemerintah Amerika Serikat memang tercatat mencapai 100 produk domestik bruto (PDB).

Namun, sebenarnya bukan itu saja. Sebab, ada utang terselubung lainnya, yakni utang korporasi yang mencapai separuh (50 persen) plus utang rumah tangga di Amerika Serikat yang setara 95 persen PDB negara itu.

"Selain itu, ada 2,5 juta rumah yang tidak terbeli. Selama rumah-rumah ini tidak terbeli, maka gelembung di sektor properti tidak akan usai. Selama ini tidak usai, maka masalah aset yang terus tergerus akan tetap berlangsung. Jadi penduduk Amerika itu tidak hanya tertekan di sisi pendapatannya, namun juga di sisi kesejahteraannya, asetnya," ujarnya.

Atas dasar kondisi itu, menurut Wijayanto, banyak orang Indonesia yang membeli rumah di Amerika Serikat dengan sengaja meninggalkan rumah tersebut. Penyebabnya, sebagai gambaran, rumah tersebut dibeli dengan harga Rp 7 miliar, lalu dicicil melalui kredit pemilikan rumah (KPR) sekitar Rp 5 miliar. Namun, ketika krisis terjadi, nilai rumah itu jatuh menjadi di bawah Rp 3 miliar, sedangkan sisi cicilan KPR masih Rp 4,5 miliar.

"Dengan kejadian itu, ya mending tinggalkan saja rumah tersebut. Mereka banyak yang kembali ke Indonesia karena masalah itu. Masalah yang sama tengah dihadapi pendudukan Amerika yang lain. Dengan situasi itu, saya yakin krisis di Eropa jauh lebih ringkih dibandingkan dengan yang dilaporkan media," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com