Jakarta, Kompas -
”Kalau ini ujian, tidak lulus. Evaluasi ditunda,” kata Emil Salim, Ketua Dewan Pertimbangan Penilaian Menuju Indonesia Hijau (MIH) 2011, Senin (31/10), di Jakarta. Program MIH dilaksanakan sejak 2006.
Sejumlah anggota Dewan Pertimbangan memberikan banyak pertanyaan kepada tim penilai, seperti cara pemberian skor, konsep, dan cara penilaian.
Emil mempertanyakan, program MIH hendak menilai tutupan vegetasi atau hutan. Apabila tutupan hutan, sudah dilakukan Kementerian Kehutanan.
”Kalau tutupan vegetasi, berarti tanaman sawit masuk karena itu vegetasi juga. Harusnya bikin klasifikasi yang versi ”lingkungan hidup” seperti apa,” ucapnya.
Pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor, Herman Haeruman, yang juga anggota Dewan Penilaian MIH, mempertanyakan, apabila tutupan vegetasi hanya kriteria pohon, padang rumput tidak masuk. Padahal, padang rumput juga penting bagi ekosistem.
Emil meminta tim penilai agar menilai kabupaten secara keseluruhan. Jangan sampai daerah yang menerbitkan banyak izin pertambangan yang merusak memperoleh label ”hijau”.
Program MIH untuk kabupaten (untuk kota ada Adipura). Tanggal 21 September 2011, dari 103 lolos 88 kabupaten. Pada 3 Oktober kabupaten memamerkan program dan terpilih 36 kabupaten. Pada 13-21 Oktober tim penilai memverifikasi presentasi di lapangan dan terpilih 30 kabupaten. Dengan minimal total skor 74, terpilih 19 kabupaten.
Penilaian meliputi aspek fisik, manajemen, peran serta masyarakat, dan kegiatan plus (termasuk inovasi) dengan memperhatikan kondisi kesulitan daerah. Rapat terakhir, inovasi dihapus dari kriteria karena tak terkait program MIH, sukar dipantau, dan mempersulit penilaian.
Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono, yang mengikuti rapat evaluasi, hanya mengangguk dan berjanji pada Jumat (4/11) akan menyerahkan revisi. Ia masih berharap agar pemberian penghargaan MIH dilakukan pada 5 November, pada Hari Cinta Puspa dan Satwa.