Tulisan ini ingin meninjau secara kritis apa yang dipahami oleh negara tentang perbatasannya sendiri dan mengidentifikasi kontradiksi inheren dari dua realitas yang sulit dipertemukan: realitas kartografis yang kaku di satu sisi dan realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis di sisi yang lain. Pemahaman paradoks ini jadi penting bagi alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai ’halaman depan’ yang lebih bermakna, manusiawi, dan substantif.
Realitas kartografis adalah pengetahuan yang terbentuk karena kekuatan visual sebuah peta. Perbatasan lahir sebagai garis-garis imajiner di atas peta yang diproyeksikan di atas morfologi alam, yang dalam kehidupan nyata sebenarnya tidak dapat ditaklukkan dengan mudah.
Sebagai instrumen legal, peta mengandung dimensi legal-formal-politis yang melihat wilayah negara sebagai sesuatu yang ajek, statis, dan tak dapat ditawar. Dimensi legalitas ruang ini jadi landasan sakral bagi eksistensi suatu negara. Tanpa wilayah yang jelas, negara tidak dapat menunjukkan siapa yang menjadi subyek kewarganegaraannya, mana batas kekayaan alamnya, maupun mana batas kedaulatannya.
Salah satu kelemahan pengetahuan berbasis realitas kartografis bahwa alam dan kondisi sosial direduksi sebagai ruang statis dan seolah tak bernyawa. Titik-titik permukiman kampung pada peta tidak dapat berbicara tentang mobilitas, ulayat, maupun orientasi ruang masyarakat setempat. Batas-batas administratif tak dapat menangkap batas-batas budaya. Garis-garis sungai maupun poligon laut tidak dapat menjelaskan arah pergerakan fauna di dalamnya.
Peta dengan mudah melahirkan ilusi tentang koherensi dan keseragaman yang seolah-olah mudah ditata, direkayasa, dan dikuasai. Peta jugalah yang memperkuat delusi dan rasa percaya diri bahwa negara memiliki kedigdayaan dan koherensi ruang.
Para aparat negara telah terlatih untuk mengawal perbatasan negara berdasarkan pengetahuan kartografis ini. Negara tidak menyiapkan aparatnya saat berhadapan dengan irregularitas alam di perbatasan, batas-batas sosial yang ternyata cair, logika dan praksis ruang masyarakat perbatasan yang lebih kosmopolit, maupun mobilitas lintas-batas realitas perbatasan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap interkoneksitas global.
Berbeda dengan pusat negara, wilayah perbatasan menjadi situs di mana persoalan nasionalisme jadi hitam-putih. Pemakaian uang ringgit di perbatasan dilihat sebagai tindakan a-nasionalistis. Isu pergeseran patok-patok perbatasan, hal yang sebenarnya abstrak bagi sebagian besar publik yang jauh dari perbatasan, mampu membangkitkan emosi nasionalisme yang militan.