Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inspirator Hidup Bangsa yang Terkulai...

Kompas.com - 13/10/2011, 02:02 WIB

Bangsa ini harus kembali ke ideologi yang tepat, pasti, dan menyejahterakan sebagaimana tertuang dalam lima sila Pancasila. Nilai-nilai itu ibarat wejangan atau nasihat ”kehidupan” yang bernilai kekal bagi perjalanan hidup bangsa ini ke depan. Mengabaikan nilai Pancasila sama dengan mengantar bangsa ini ke kehidupan chaos, yang kini tengah dialami.

Bobot Pancasila menjadi jelas jika memperhatikan alasan Pancasila dirumuskan. Pancasila tidak sekadar etika hidup bangsa, tetapi juga pemecahan dari sebuah masalah serius, yakni dasar republik yang hendak didirikan waktu itu. Konflik dalam BPUPKI, yaitu RI yang akan diproklamasikan waktu itu berdasar semangat nasionalisme atau agama tertentu, mendorong Soekarno mencetuskan Pancasila.

Franz Magnis-Suseno SJ, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dalam dialog kerukunan umat beragama nasional di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (30/9), mengatakan, Pancasila lahir atas kesepakatan seluruh rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara yang warganya memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban sama. Dalam paham Pancasila tidak ada paham mayoritas dan minoritas, tetapi warga negara dalam arti penuh.

Dialog itu dibuka Sekretaris Kementerian Agama Bahrul Hayat yang diikuti 40 dosen filsafat dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Dialog berlangsung pada 28-30 September 2011 atas kerja sama Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia dengan Bimas Katolik Kementerian Agama. Tujuan dialog adalah mencari benang merah nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan praktis warga agar saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan kemajemukan.

Demi persatuan, kesatuan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh warga, agama terbesar waktu itu tidak diberi tempat khusus dalam UUD 1945. Hal ini menunjukkan suatu sikap, tanda kebesaran komitmen kepada persatuan bangsa. Dengan mendasarkan negara di atas Pancasila, masyarakat membuat nyata Sumpah Pemuda mengenai satu Indonesia dari kemajemukan etnik, budaya, dan agama.

Mengabaikan, mengubah, meniadakan, dan mengebiri Pancasila berarti membatalkan kesepakatan bangsa untuk bersama-sama mendirikan republik ini. Melalui Pancasila, tidak ada anak bangsa yang merasa tersakiti, terlukai, dan terabaikan dalam negara ini.

”Semua anak bangsa sama, sederajat, senasib, dan sepenanggungan dalam memajukan bangsa dan negara. Kegagalan pembangunan bangsa menjadi keprihatinan dan kepedulian seluruh warga negara untuk bergerak maju,” kata Magnis.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila adalah saling menerima kekhasan masing-masing, kesediaan menghormati dan mendukung kemajemukan bangsa secara inklusif.

Dosen Sekolah Tinggi Filfasat dan Teologi Katolik Ledalero, Flores, NTT, Otto Gusti Madung SVD, mengatakan, pluralisme merupakan ciri dasariah masyarakat modern ketika paham homogenisasi berkurang. Pancasila sebagai basis ideologi dan identitas bangsa tetap mendesak. Sebuah bangsa hanya bisa bertahan jika ada roh yang mempersatukan. Pancasila perlu ditafsir kembali dan ditemukan aktualisasinya.

”Dalam era masyarakat global, tafsir Pancasila hanya dapat dimungkinkan jika ditempatkan dalam ideologi masyarakat global. Dan sila-sila dalam Pancasila sudah mencerminkan nilai-nilai universal sehingga Pancasila tetap mendapat tempat dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan kapan pun,” kata Gusti.

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, mengatakan, Pancasila sebagai ideologi bangsa sedang diuji. Para pendiri bangsa berhasil merumuskan pemikiran-pemikiran besar, sarat dengan nilai-nilai bangsa sebagai dasar, ideologi, dan falsafah bangsa.

Pancasila adalah kekayaan ideologi bangsa yang tak ternilai harganya. Ia merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur yang digali dari akar budaya bangsa. Namun, Pancasila sedang terkulai, seakan ditinggalkan begitu saja oleh anak bangsa: penguasa, politisi, generasi muda, cendekiawan, akademisi, konglomerat, ekonom, dan kaum rohaniwan.

Bahrul Hayat, ketika membuka dialog itu, mengatakan, Pancasila sudah sangat mendesak menjadi gerakan bersama seluruh bangsa untuk direalisasikan. Pancasila memiliki nilai kekinian yang sangat relevan dengan perkembangan zaman.

”Sila-sila dalam Pancasila tak hanya menjadi doktrin baku, tetapi harus diaktualisasikan dalam kehidupan konkret. Fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan refleksi kehidupan dalam kebinekaan harus terus dikembangkan,” katanya.

Direktur Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama Anton Semara Duran mengatakan, nilai Pancasila harus diajarkan sejak anak usia dini, seperti kerukunan agama dan ajaran agama harus dipadukan dengan nilai-nilai Pancasila. Sudah saatnya pendidikan Pancasila masuk dalam kurikulum wajib di sekolah serta di kalangan generasi muda, orang tua, dan elemen masyarakat lain.

Dosen Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, mengatakan, Pancasila jangan dipahami sebagai ideologi mati yang tidak bermakna bagi bangsa, tetapi memiliki roh yang mencerahkan.

”Pancasila sudah jatuh dalam pola indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan menjadi perbincangan teoretis abstrak dan pelik. Karena itu, Pancasila perlu didekati dari sisi estetika saat negara kehilangan arah, dicabik-cabik kekerasan atas nama agama,” katanya.

Pengalaman yang bertentangan dengan Pancasila diangkat lewat karya-karya seni, seperti novel, cerpen, dan pengalaman lain yang disajikan secara khusus sampai menyentuh, mengharukan pembaca (pendengar). Kelompok-kelompok ekstrem pun masuk melalui jalur pendidikan. Oleh karena itu, unsur estetika Pancasila ini harus masuk melalui jalur pendidikan dengan pengalaman-pengalaman konkret. (KORNELIS KEWA AMA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com