Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelisah Saat Angin Kencang

Kompas.com - 07/10/2011, 05:44 WIB

Jangan dikira setiap hari syahbandar hanya berurusan dengan menerbitkan surat persetujuan berlayar. Seusai membubuhkan tanda tangan, maka selesai sudah tugasnya. Bukan hanya itu. Paling tidak, ia harus memikirkan apakah kapal selamat sampai tujuan.

Bagi Zulmardi (55), Syahbandar Pelabuhan Muaro, Kota Padang, misalnya, kapal-kapal kayu yang banyak dioperasikan perusahaan pelayaran rakyat kerap membuat dirinya tak bisa tenang. Kerap kali ia bangun tengah malam hanya untuk menelepon agen perusahaan pelayaran. ”Hanya untuk memastikan sudah sampai di mana kapal itu, terutama kalau sedang angin kencang. Saya pasti gelisah sebelum kapal itu benar-benar tiba di tujuan,” ujar Zulmardi, pegawai negeri sipil golongan 3D dengan gaji sekitar Rp 3,5 juta ini.

Umumnya, kata Zulmardi, tak ada perusahaan asuransi yang mau menanggung beban kerugian jika terjadi kecelakaan laut atas kapal kayu rakyat. ”Hanya penumpang saja yang diasuransikan. Kapal-kapal yang terbuat dari kayu itu dinilai tidak kuat sehingga tidak ada perusahaan asuransi yang mau melindungi,” tambahnya.

Sesekali ia juga harus menjadi saksi di persidangan yang terkait dengan pelayaran. Senin (3/10) lalu, misalnya, nakhoda Kapal Motor (KM) Ranjungan, Antonius Mendropa (29), divonis sembilan bulan penjara ditambah denda Rp 5 juta atau tambahan kurungan satu bulan karena berlayar tanpa SPB dari Pulau Sigolong-golong, Kecamatan Hibala, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Padahal, berdasarkan Peraturan Bandar 1925 (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 500), untuk daerah yang tidak memiliki syahbandar, surat persetujuan berlayar (SPB) bisa dikeluarkan kepala desa setempat.

Yang mengusik pikiran Zulmardi, kapal berbobot mati 31 ton itu biasa membawa kebutuhan pokok ke Pulau Sigolong-golong. Dengan nakhoda yang dijebloskan ke penjara dan kapal yang disita oleh Direktorat Polisi Air Polda Sumatera Barat, pasokan untuk pulau terpencil itu pasti terganggu.

Tak kenal waktu

Seperti juga Zulmardi, Andi Abdul Rahmat (50) harus siap bertugas tak kenal waktu. Setiap pekan petugas syahbandar di Pelabuhan Murhum, Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, ini mendapat dua kali giliran tugas memimpin satu regu kerja yang beranggotakan 14 orang untuk melayani seluruh aktivitas pelabuhan. ”Setiap giliran tugas, lama kerjanya 24 jam karena aktivitas kapal tak mengenal waktu,” ujar syahbandar senior yang telah berdinas 31 tahun ini.

Sebagai petugas syahbandar, ia sudah kebal mendapat caci maki penumpang yang tak sabar saat akan menaiki kapal. Padahal, prosedurnya adalah memberi kesempatan penumpang turun terlebih dulu sebelum penumpang yang baru naik ke kapal.

Namun, itu masih belum seberapa. Jika terjadi kecelakaan kapal, para petugas syahbandar pun harus turut mencari korban. Orang seperti Rahmat inilah yang pertama kali bergerak ke lokasi kecelakaan.

”Saat bertugas di Makassar, saya ikut terlibat dalam pencarian dan evakuasi tragedi KM Tampomas II tahun 1981. Waktu itu selama 20 hari saya bertugas di laut mencari korban,” kata Rahmat, kakek dengan tiga cucu, PNS golongan 3C dengan gaji Rp 3,2 juta sebulan.

Zulmardi dan Rahmat tentu tak ingin tugas ini kerap muncul karena itu artinya kegelisahan syahbandar terjawab. Kapal tak sampai tujuan. Ada halangan di tengah laut. Ini sama sekali bukan jawaban yang ingin didengar syahbandar. (ink/eng)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com