Pemeringkatan oleh majalah Pusat Informasi Perkoperasian (PIP) tersebut tentunya kembali mengingatkan kita pada laporan tentang 300 koperasi global versi International Cooperative Alliance (ICA) yang diumumkan dalam konferensi ICA di Singapura, tahun 2007. Hasil pemeringkatan PIP secara umum menggambarkan kelahiran koperasi-koperasi sebagai badan usaha skala besar yang berkembang dan berkelanjutan, baik diukur dari nilai aset, volume usaha, maupun sisa hasil usaha (SHU).
Koperasi-koperasi itu umumnya mulai berkembang pada akhir dasawarsa 1990-an dan awal abad ke-21. Latar belakangnya dapat dilacak pada lahirnya UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menggantikan UU Nomor 12 Tahun 1967.
UU sebelumnya mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha berwatak sosial yang mengintegrasikan motif ekonomi dengan motif sosial sebagai jati diri koperasi. Sejak itu, koperasi diintegrasikan dengan program pembangunan—khususnya pertanian—terutama untuk mencapai swasembada pangan. Dengan pengintegrasian itu, koperasi jadi alat kebijakan pemerintah.
Terhadap UU tersebut, Bung Hatta konon berkomentar, dengan strategi semacam itu, pembangunan koperasi menjadi bersifat top-down atau pembangunan dari atas, padahal koperasi seharusnya—sebagai gerakan ekonomi rakyat—berkembang dari bawah ke atas (bottom-up). Namun Presiden Soeharto, melalui Sri-Edi Swasono, misalnya, berpendapat lain dengan mengatakan, jika dibiarkan begitu saja, koperasi akan berkembang lambat dan bahkan tergusur oleh sektor ekonomi lain. Karena itu, pemerintah harus turun tangan membangun koperasi bersama-sama dengan pembangunan ekonomi.
Hasilnya, secara kuantitatif jumlah koperasi berkembang pesat mencapai hampir 40.000 unit pada tahun 1997. Koperasi unit desa berkembang jadi lebih dari 9.000 unit, di antaranya 6.000 lebih menjadi koperasi mandiri dengan volume usaha Rp 1 triliun-Rp 6 triliun. Pada akhir dasawarsa 1990-an telah terbentuk suatu arsitektur perkoperasian Indonesia.
Namun, pada awal 1990-an, dilatarbelakangi gejala lahirnya konglomerat dengan grup-grup bisnis besar dan BUMN, timbul wacana mengapa koperasi justru berada di buritan perkembangan ekonomi. Padahal, koperasi dibina oleh pemerintah dan memiliki kontribusi besar terhadap tercapainya swasembada beras tahun 1984.