HENDRIYO WIDI dan M BURHANUDIN
Gus
Ajaran itu berpengaruh terhadap tata laku warga sekitar masjid yang kini dikenal dengan Kudus Kulon sebagai masyarakat agamis yang pintar berdagang. Keberadaan masjid yang dekat dengan pasar pun memperkuat prinsip ”gusjigang”.
Kudus Kulon menjadi embrio perkembangan kota Kudus. Wilayah ini kini meliputi Desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan, dan Kajeksan. Desa-desa itu mengitari Masjid Kudus sebagai episentrum sosial, ekonomi, budaya, sekaligus keagamaan. Sekitar masjid bukan hanya menjadi pusat kegiatan agama, di sana menjadi pasar bertemunya pedagang dan pembeli.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, filosofi tersebut tergeser dari makna aslinya. Kepribadian bagus, tekun mengaji, dan berdagang tak lagi duduk sejajar. Berdagang untuk mencari keuntungan menjadi prioritas dan diunggulkan, seiring dengan semakin rentanya bangunan masjid, menara, dan makam Sunan Kudus.
Hal itu tidak terlepas dari metamorfosis kota lama atau Kudus Kulon. Dalam makalah ”Arsitektur dalam Perubahan Kebudayaan Studi Kasus Arsitektur Rumah Tradisional Kudus” yang ditulis Prof Eko Budiharjo bersama timnya, permukiman dan kehidupan sosial-ekonomi di kota tua Kudus mengalami perubahan dari masa ke masa.
Pada zaman Hindu-Buddha, rumah penduduk terbuat dari bambu dan kayu, sedangkan tempat peribadatan dari batu bata. Masyarakat pada waktu itu masih bergantung pada pertanian dan perikanan sungai.
Pada zaman pengembangan Islam, Sunan Kudus mulai menata kota tua Kudus. Kota itu berpusat pada Masjid Menara Kudus yang di dekatnya terdapat kompleks pedepokan Sunan Kudus. Kemudian, di sekelilingnya merupakan rumah-rumah penduduk beratap limasan. Ekonomi kota juga mulai menggeliat dengan dibukanya perdagangan lintas negara melalui Sungai Gelis yang membelah kota lama Kudus.