Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komoditas Kelapa yang Terabaikan

Kompas.com - 29/07/2011, 04:02 WIB

Sepuluh tahun silam, rata-rata petani di Dusun Cimonggor, Pasir Waru, Serang, Banten, masih memiliki 100-200 batang pohon kelapa. Kini jumlahnya berkurang tinggal 50 batang per petani. Impitan ekonomi dan minimnya perhatian pemerintah pada komoditas kelapa menjadi penyebab utamanya.

Santari (45), petani kelapa di Dusun Cimonggor, Kamis (7/7), menceritakan banyak pohon kelapa ditebang karena tuntutan ekonomi. Setiap pohon dijual seharga Rp 150.000. ”Petani sudah terdesak kebutuhan, sementara hasil kelapa tidak cukup menjanjikan,” katanya, saat menunjukkan perkebunan kelapa miliknya yang tidak jauh dari rumahnya di Cimonggor.

Produksi kelapa setiap pohon hanya sepuluh butir per bulan. Harganya juga rendah, yakni sekitar Rp 500-Rp 700 per butir. Bahkan, pernah mencapai Rp 200 per butir. Dengan aset 50 pohon, maka penghasilan per bulan dari kelapa hanya Rp 250.000 jika harganya Rp 500 per butir.

Menurut Santari, rendahnya produktivitas karena usia kelapa sudah lebih dari 50 tahun. Petani juga tidak memberikan perlakuan khusus seperti pemupukan dan pengaturan akar. ”Kami berharap ada peremajaan bibit dengan bantuan pemerintah. Petani juga seharusnya dibimbing bagaimana cara bertanam kelapa supaya hasilnya maksimal. Kalau pemerintah intens, saya yakin budaya petani yang sebelumnya cenderung membiarkan begitu saja bisa berubah ke petani profesional,” paparnya.

Kondisi serupa juga terjadi di Banggai, Luwuk Timur, Sulawesi Tengah. Asri Manrapi (51), petani setempat yang dihubungi Kompas, mengatakan, berbeda dengan petani di Jawa, di luar Jawa petani biasa menjual dalam bentuk kopra. Dengan harga kopra Rp 8.000 per kilogram, petani mendapatkan nilai tambah lebih tinggi. Meski begitu, petani tetap dihadapkan pada persoalan rendahnya produktivitas kelapa.

Berdasarkan data Asia Pasific Coconut Community (APCC), luas areal tanam kelapa di Indonesia tahun 2010 tercatat 3,8 juta hektar. Ada sekitar tujuh juta petani yang terlibat dalam perkebunan kelapa. Produksi kelapa tercatat 15,4 miliar butir. Jika dikonversi menjadi kopra, dengan satu kilogram kopra setara lima butir kelapa, maka produksinya mencapai 3,2 juta ton.

Kontribusi Indonesia terhadap produksi kelapa dunia sebesar 27 persen. Produksi kelapa dunia, menurut APCC, tercatat 11,8 juta ton setara kopra. Luas areal kelapa dunia mencapai 12,17 juta hektar. Indonesia merupakan negara yang memiliki areal kelapa terluas di dunia. Sayangnya produktivitasnya masih kalah dengan Filipina. ”Produktivitas kelapa kita masih kurang dari satu ton per hektar, sementara di Filipina sudah mencapai dua ton per hektar. Tak heran produksi di Filipina melampaui Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal Forum Kelapa Indonesia Donatus Gede Sabon.

Berusia tua

Menurut Donatus, hampir setengah tanaman kelapa sudah berusia tua dan butuh peremajaan. Peremajaan tidak bisa dilakukan petani seorang diri karena keterbatasan dana. Sekitar 98 persen perkebunan kelapa berstatus perkebunan rakyat. Hanya sedikit yang dikembangkan oleh perusahaan. Sentra produksi kelapa terdapat di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, pantai timur Sumatera, Riau, Jawa Tengah, serta Jawa Timur.

Pemerintah sempat serius mengembangkan kelapa pada era 1970-an sampai 1980-an. Saat itu pemerintah gencar mempromosikan kelapa hibrida yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, sejak kelapa sawit hadir menjadi tren perkebunan baru di era 1980-an, kelapa mulai dilupakan.

Sejak itu, perkebunan kelapa dibiarkan tanpa ada pengembangan jelas dan peremajaan bibit. ”Pemerintah lebih serius menggarap sawit karena pelakunya sebagian besar perusahaan swasta, sementara kelapa pelakunya hanya petani kecil yang dananya minim,” ujar Donatus.

Hal tersebut diakui Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi. Dia mengatakan, kebijakan revitalisasi perkebunan yang digelontorkan tahun 2007 hanya menyentuh tiga komoditas, yakni sawit, kakao, dan karet. Pertimbangannya karena ketiganya sudah memiliki sistem industri yang mapan.

”Industri pengolahan kelapa belum banyak berkembang. Selain itu, teknologi peremajaan secara teknis juga masih sulit. Peremajaan harus membongkar akar, dan itu secara teknis cukup sulit,” paparnya.

Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh, industri pengolahan dalam negeri sudah berkembang pesat. Mereka bahkan kewalahan mencari pasokan kelapa untuk bahan baku. Akibatnya, kapasitas terpakai industri saat ini hanya berkisar 30 persen. Penurunan kapasitas terutama terjadi pada industri makanan dan minuman.

Kalangan industri telah mengajukan permohonan penerapan pajak ekspor kelapa, khususnya untuk kelapa segar. Kementerian Perdagangan mengakui, selama ini banyak butiran kelapa yang diekspor ke Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sayangnya mereka tidak memiliki data rinci berapa jumlah ekspor di masing-masing negara tersebut. Di negara eksportir seperti Filipina dan Sri Lanka, kelapa sudah dikenai pajak ekspor.

Market Development Officer APCC Amrizal Idroes mengatakan, kontribusi kelapa bagi devisa negara selama ini masih rendah. Tahun 2010, kontribusinya baru 790 juta dollar AS. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2010 nilai ekspor kelapa sawit menembus 16,4 miliar dollar AS, kakao 1,6 miliar AS, dan karet mencapai 7,3 miliar dollar AS.

”Rendahnya kontribusi kelapa karena sebagian besar ekspor masih berupa kopra dan kelapa segar, yang nilai tambah ekonominya tidak terlalu besar. Seharusnya ekspor dalam bentuk produk olahan seperti makanan, minuman, dan minyak kelapa,” katanya.

Jika pemerintah mau serius menggarap kelapa, persoalan di hulu dan hilir harus terselesaikan. Kelapa seharusnya dijadikan komoditas strategis. Industri pengolahan didorong dengan menerapkan pajak ekspor.

Belajar dari pengalaman kakao, pajak ekspor sangat efektif mendorong pertumbuhan industri pengolahan. Penerapan pajak ekspor pada kakao di tahun 2009 berhasil mendongkrak produksi industri kakao olahan. Tahun 2010, produksi kakao olahan naik menjadi 150.000 ton dari 120.000 ton pada tahun sebelumnya. Catatan pentingnya, bagaimana pajak ekspor tidak menjadi celah bagi industri untuk menekan harga di tingkat petani.(ENY PRIHTIyANI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com