Jakarta, Kompas -
Sementara itu, verifikasi oleh PTTEP Australasia terhadap data-data yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dampak pencemaran laut terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya selesai. Sebagian yang selesai hasilnya tidak seluruhnya sepakat dengan Indonesia. Kerugian terhadap lingkungan yang diajukan Pemerintah Indonesia belum mendapat tanggapan positif dari perusahaan asal Thailand itu.
Demikian rangkuman diskusi ”Menggugat Status Ganti Rugi Pencemaran Minyak Blok Montara” yang diadakan oleh Indonesian Resources Studies (IRESS), Selasa (26/7) di Jakarta.
Tampil sebagai pembicara, Ketua Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor Masnellyarti Hilman, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik, Heri Soba dari Yayasan Peduli Timor Barat, dan Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara.
”Tim masih akan berdiskusi. Kalau semua lancar, penandatangan nota kesepahaman (MOU) akan dilakukan awal Agustus,” kata Masnellyarti.
Dalam MOU ada dua kesepakatan, yaitu yang bersifat sementara (interim measures) berupa tanggung jawab sosial korporasi (CSR) dan yang bersifat jangka panjang. ”Untuk ganti rugi sosial ekonomi, mereka sepakat. Adapun untuk kerugian akibat kerusakan lingkungan belum ada kesepakatan,” ujar Masnellyarti. Besaran ganti rugi pun belum ada kesepakatan. Klaim Indonesia sekitar Rp 22 triliun.
Riza menyoroti, sebenarnya penyelidikan yang dilakukan oleh PTTEP untuk memverifikasi hasil pengumpulan data oleh pihak Indonesia sebagai dasar klaim ganti rugi bertujuan mengulur waktu. ”Semakin lama jejak pencemaran akan semakin hilang. Laut di timur Indonesia dikenal amat dinamis,” katanya.
Padahal, PTTEP Australasia memiliki waktu cukup panjang untuk menyiapkan, mengusulkan, dan membangun mekanisme penyelesaian, termasuk standar kuesioner dan teknik verifikasi besaran klaim ganti rugi. Saat ini, verifikasi PTTEP yang dimulai setelah Indonesia mengajukan klaim resmi pada Desember 2010 belum selesai.
Riza mengusulkan tiga hal yang harus dilakukan, yaitu jalur diplomatik diperkuat karena Pemerintah Australia tentu tidak akan mau dikatakan tidak menghormati Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Kedua, pemerintah perlu menyiapkan langkah hukum sesuai dengan UNCLOS dan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bersinergi dengan Pemerintah Australia. Ketiga, melakukan pembekuan investasi.