Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbedaan Tafsir yang Merugikan

Kompas.com - 15/07/2011, 05:03 WIB

Salah satu kelemahan dari pengelolaan pertambangan dengan model kontrak karya adalah posisi sejajar antara negara dan perusahaan yang membuat perjanjian. Dengan posisi yang sejajar itu, setiap perselisihan harus diselesaikan melalui arbitrase internasional.

Ketika membawa kasus divestasi PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional pada tahun 2008, pemerintah meminta panel arbitrase menyatakan perusahaan itu telah lalai dan mengulur pelaksanaan divestasi sehingga kontraknya bisa diterminasi. Namun, permintaan itu ditolak karena panel menilai kelalaian Newmont belum fatal sehingga tidak bisa diganjar dengan terminasi kontrak.

Mandeknya divestasi Newmont di tahun 2008, antara lain, disebabkan perbedaan interpretasi atas entitas nasional yang berhak ikut dalam divestasi. Pasal 24 Ayat 3 kontrak karya menyebutkan, jika pemerintah tidak menerima penawaran saham, kesempatan berikutnya jatuh kepada warga negara Indonesia atau perusahaan yang dikendalikan warga negara Indonesia.

Newmont menilai, proses divestasi sudah masuk ranah bisnis murni dengan masuknya swasta nasional dalam konsorsium yang dibentuk pemerintah daerah. Sementara itu, pemerintah pusat menilai asal dana yang dipakai pemerintah daerah untuk membeli saham bukan urusan Newmont.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwono menilai, hal tersebut tidak terlepas dari akibat transisi. ”Memang sebelum era reformasi, pemerintahan kita berbentuk sentralisasi sehingga tafsiran atas pemerintah adalah pemerintah pusat. Pascareformasi, dengan adanya otonomi daerah, sistem yang berlaku adalah desentralisasi,” kata Hikmahanto.

Ia mengatakan, kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan pihak Indonesia kerap muncul dalam pelaksanaan divestasi. ”Siapa yang dimaksud pihak Indonesia? Pemerintah pusat, daerah, atau perusahaan? Semua pihak memiliki kepentingan. Pemerintah pusat tentu melihat dari perspektif Indonesia secara keseluruhan, sementara pemda tentu melihat dari perspektif mengisi pendapatan asli daerah sehingga dapat menyejahterakan masyarakat daerah,” ujarnya.

Sementara itu, perusahaan memiliki berbagai motivasi, selain mendapatkan keuntungan juga apakah bisa turut dalam operasi sehingga memiliki pengetahuan teknis. ”Dari perspektif masing-masing, tentu interpretasi atas kontrak karya bisa dilakukan. Dan ini lagi-lagi yang membuat adanya ketidakpastian hukum. Bila dirujuk ke lembaga peradilan, lembaga peradilan pun terkadang membuat tafsiran yang tidak tunggal,” kata Hikmahanto.

Ia menilai, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah, terlalu berharap kepada Undang-Undang Pertambangan dalam pelaksanaan kontrak karya. Padahal, UU kerap tidak dijalankan. Bila pelaksanaan bertentangan, tidak ada mekanisme yang efektif untuk memastikan agar semua pihak merujuk pada undang-undang. (DOT)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com