Uji Emisi, Jangan Basa-basi...

Salah satu upaya mengurangi polusi kendaraan bermotor di Jakarta adalah dengan menggalakkan kembali uji emisi dan ini harus dilakukan dengan tanpa basa-basi.

Pada tahun 2000, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI sudah mulai menggalakkan uji emisi, baik untuk kendaraan umum, dinas, maupun pribadi. Namun, semakin hari realisasinya semakin kendur. ”Kita sering berhenti di tengah jalan,” ujar Willy Setiawan, Manajer Bengkel Lestari Ban di Jalan Panglima Polim.

Hal ini dirasakan Willy dari menurunnya jumlah pengendara mobil pribadi yang melakukan uji emisi di bengkelnya. ”Dulu, dalam sehari, bisa puluhan mobil yang datang. Sekarang, satu mobil pun kadang tidak ada,” tuturnya.

Pemilik kendaraan yang sekarang ini banyak datang melakukan uji emisi hanya dari perusahaan asing. Willy merasa kesadaran warga untuk merawat kendaraan masih kurang. ”Kenapa knalpot mobil itu enggak ditaruh di depan saja, ya. Biar pada peduli,” ujarnya.

Kondisi kendaraan umum lebih parah lagi. Terbukti, saat memantau uji emisi yang diadakan Dinas Perhubungan Jakarta Selatan di Lebak Bulus, banyak bus terjaring karena kandungan emisinya jauh melebihi ambang batas. Padahal, mereka mengaku rutin melakukan uji KIR. ”Namanya juga dipakai setiap hari, Pak,” kilah Irmansyah, sopir metromini bernomor polisi B 7592 OG jurusan Blok M-Lebak Bulus, yang mengaku baru lolos uji KIR pada April lalu.

Bus Kopaja B 7624 DG sama bobroknya. Surat KIR-nya bahkan diduga palsu karena tanda tangan ataupun stempel yang tertera di sana berbeda. ”KIR nya diragukan. Besok langsung ke Pulo Gadung, ya. STNK dan mobil ditahan,” ucap petugas kepada Tohir, sang sopir.

Sanksi tegas

Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara sesungguhnya mewajibkan semua pemilik kendaraan bermotor untuk uji emisi sekurang-kurangnya enam bulan sekali. Dalam perda ini juga diatur sanksinya, yaitu pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta. Namun, hal ini belum direalisasikan optimal.

Menurut sejumlah sopir di Terminal Lebak Bulus, mereka yang tersaring dalam uji emisi hanya diharuskan melakukan uji KIR di Pulo Gadung. Dalam praktiknya, saat uji KIR pun bisa ”diatur” dengan uang.

”Banyak yang KIR tidak bawa mobil, tetapi cuma bawa surat doang. Di Pulo Gadung juga sempat ada KPK, tetapi berapa lama bisa mengawasi,” kata seorang sopir.

Sementara itu, Kepala Seksi Pengawasan Pengendalian Dinas Perhubungan Jaksel Syahrizul yakin uji emisi mendadak yang rutin dilakukan sebulan sekali itu dapat menekan angka kendaraan umum yang tidak laik jalan.

”Manfaatnya cukup banyak. Makin lama makin membaik. Terbukti kendaraan yang melakukan uji KIR di Pulo Gadung terus meningkat dari hari ke hari, bulan ke bulan,” paparnya.

Menurut Willy, uji emisi akan berhasil kalau ada sanksi tegas. Para pejabat juga harus memeloporinya. Dengan begitu, pemilik kendaraan pribadi pun akan antusias.

Sejumlah pengguna kendaraan umum pun berharap uji emisi serupa sering diadakan. Kelompok guru SD Pondok Pinang yang sedang menumpang metromini, misalnya, sangat mendukung langkah ini karena berkeyakinan akan membantu membersihkan udara Jakarta. ”Metromini, Kopaja, banyak yang ngeluarkan asap. Mendukung uji emisi digiatkan lagi,” ujarnya.

Uji emisi ini memang tidak akan cukup untuk mengatasi polusi udara di Jakarta. Soalnya, sebagus apa pun kendaraan, apabila berjalan di bawah 30 km per jam, pembakarannya tidak akan sempurna dan menghasilkan polutan. Meski demikian, paling tidak, uji emisi ini dapat mengurangi polusi udara yang dikeluarkan kendaraan bermotor di jalan-jalan Jakarta.

Para pengendara, ayo merawat kendaraan. Ingat, setiap dua detik, kita selalu bernapas. Setiap menit, kita juga memasukkan 500 mililiter udara ke tubuh. Mengatasi polusi tidak bisa lagi basa-basi. (sut)