Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sayur Organik dari Lereng Merbabu

Kompas.com - 20/06/2011, 02:51 WIB

Oleh Amanda Putri

Ibu-ibu di Dusun Selongisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, memulai hari dengan menimbang dan mengemas buncis perancis. Inilah bagian dari proses memasarkan hasil pertanian organik dari lereng Merbabu ke mancanegara. 

Buncis seberat 150 gram dalam kemasan plastik kemudian dimasukkan dus hingga terisi 10 kemasan. Dus-dus itu kemudian diangkut dengan mobil berpendingin ke ke Bandar Udara Adisutjipto Yogyakarta, DI Yogyakarta. Siang harinya, dengan pesawat Air Asia, terbanglah buncis itu melanglang ke Singapura.

Buncis perancis merupakan salah satu produk pertanian organik dari daerah di lereng Gunung Merbabu yang diekspor rutin ke Singapura. Setiap pekan sedikitnya 2 ton buncis perancis dikirim ke negeri jiran itu melalui eksportir di Yogyakarta. Padahal, Ketua Kelompok Tani Tranggulasi, Pitoyo Ngatimin, menyebutkan, Singapura meminta kiriman buncis perancis 1,5 ton per hari.

Menyiasati permintaan itu, sebanyak 152 petani yang dikoordinasi Kelompok Tani Tranggulasi berupaya mengirim buncis perancis tiga kali dalam sepekan setiap Selasa, Kamis, dan Minggu. Aktivitas pengemasan berlangsung setiap hari di gudang bantuan pemerintah seluas 5 meter x 9 meter.

Selain dari luar negeri, permintaan sayuran organik juga datang dari pasar modern di dalam negeri. Berbagai jenis sayur seperti kubis, selada, tomat, sawi putih, bit, timun jepang, brokoli, pakcoy, wortel, dan kol merah hampir setiap hari dikirim ke berbagai daerah seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Klaten, dan Magelang.

Kelompok Tani Mardi Santoso di Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, misalnya, rutin menyuplai 2,5 ton lobak, 500 kilogram (kg) daun bawang, 130 kg parsley, dan 300 kg brokoli ke Bandung, Jawa Barat, sekali angkut (satu minggu dua kali pengiriman).

Semakin lama, permintaan semakin tinggi. Pasar swalayan seperti Carrefour, misalnya, membutuhkan sekitar 16 ton dari 167 jenis sayur organik setiap pekan. Permintaan juga datang dari eksportir sayur organik ke Taiwan yang mencapai 26 ton per minggu.

Sejak dirintis oleh Pitoyo tahun 1998, pertanian organik di Kecamatan Getasan terus berkembang. Para petani semakin merasakan manfaat pertanian organik ketimbang pertanian konvensional. Sebab, pasar mereka sudah jelas dan harga tidak naik turun.

Ketua Kelompok Tani Mardi Santoso, Subari, menyatakan, pertanian organik mampu menarik minat anak muda di desanya untuk tidak merantau ke kota. ”Kami meyakinkan anak muda bahwa pertanian organik sudah memiliki kepastian pasar sehingga pendapatan sudah dapat diukur,” kata Subari.

Giono (25) adalah salah satu contohnya. Ia kini berperan sebagai bendahara di Kelompok Tani Mardi Santoso. Sejak lulus dari SMA Negeri 1 Getasan, pria ini memilih bertani di desanya. ”Dengan sistem organik, kami sudah bisa berhitung akan mendapat keuntungan berapa. Kalau masih cara lama, petani bisa rugi ketika harga anjlok,” tuturnya.

Harun (45), petani di Desa Batur yang sempat menjadi tenaga kerja Indonesia di Malaysia, akhirnya memutuskan kembali ke Tanah Air dan menekuni pertanian organik. ”Dulu bertani sulit untung, kini sudah menjanjikan,” ujarnya.

Dia memiliki lahan seluas 3.000 meter persegi. Dengan menanam 3,0-3,5 kg benih per 1.000 meter persegi, petani dengan dua anak itu bisa memperkirakan pendapatannya. Dari 1.000 meter persegi lahan, misalnya, bisa dihasilkan 450-600 kg buncis perancis. Jika 1 kg dihargai Rp 6.000, Harun sedikitnya mengantongi Rp 2,7 juta untuk sepertiga lahan atau Rp 8,1 juta dari seluruh lahan miliknya.

Karena berprospek, bantuan demi bantuan dari pemerintah pun bergulir, dari pendampingan teknis, penyediaan alat-alat pascapanen seperti timbangan dan alat pengemas, pembangunan screen house, embung-embung untuk menunjang pengairan, hingga bangunan untuk penanganan hasil panen.

Pengurus Kelompok Tani Tranggulasi, Jumari (44), menyebutkan, sebelum ada bantuan, kelompok menyewa mobil sendiri untuk mengangkut sayuran. Kini, pemerintah memfasilitasi mereka dengan mobil berpendingin.

Mengubah pola pikir petani dari konvensional ke pola yang lebih tertata menjadi hambatan terbesar. Dalam pertanian organik, misalnya, dibutuhkan kemampuan manajemen yang rapi sejak tahap produksi hingga pemasaran, tidak sekadar memproduksi sebanyak-banyaknya.

Seorang petani di Dusun Sumogawe, Desa Bumirejo, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Suratman (51), misalnya, masih mempertimbangkan untuk beralih ke pertanian organik.

Sayangnya, meski sudah beralih ke organik pun, kemampuan manajemen Kelompok Tani Mardi Santoso masih lemah. Hal itu membuat kelompok jadi ragu untuk mengajukan kredit ke bank meskipun mereka membutuhkan. Padahal, sudah banyak bank yang menawarkan pinjaman karena potensinya.

Kelompok Tani Tranggulasi yang sudah lebih dulu berkiprah telah berhasil mengatur pola tanam. Pitoyo menyebutkan, dalam satu hari diupayakan selalu ada petani yang panen dan ada yang menanam. Buncis perancis selalu tersedia setiap hari.

Kelompok ini menjual buncis perancis dengan harga Rp 9.000 per kg ke Singapura, tetapi petani mendapat harga jual Rp 6.000 per kg. Selisihnya, Rp 3.000, digunakan untuk biaya operasional dan menggaji para tenaga kerja, termasuk pengemas, sopir, dan buruh petik. Sejauh ini tidak ada petani yang tergiur menjual sayur di luar kelompok karena harga pasar tidak pernah lebih tinggi dari harga kelompok.

Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Semarang Urip Triyogo mengatakan, potensi sayur organik yang besar itu akan terus dikembangkan, termasuk kemampuan manajerial para petani. Jumlah petani yang baru 212 orang perlu ditingkatkan. Dari 3.000 hektar lahan pertanian sayur di Kabupaten Semarang, baru 58 hektar di antaranya yang menjelma menjadi pertanian organik atau baru sekitar 1,9 persen. Meski demikian, pertanian organik terbukti mampu meningkatkan taraf hidup petani dan warga setempat.

Karena itu, Pemkab Semarang akan mengembangkan kawasan lain untuk ikut beralih ke pertanian organik. Daerah-daerah di Getasan, Bandungan, Ambarawa, Sumowono, Bergas, dan Bawen akan dikembangkan menjadi pertanian organik untuk menjawab tantangan pasar ke depan.

Lebih dari itu, pertanian organik bukan sekadar mengikuti tren dan memenuhi kebutuhan pasar. Seperti kata Subari, petani setempat tidak peduli pangsa pasar sayur organik ada di luar negeri atau domestik, yang paling penting bagi petani adalah adanya kepastian pasar dan stabilitas harga.

Geliat lereng Merbabu diharapkan menginspirasi daerah lain....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com