Kupang, Kompas -
Demikian disampaikan Dr Felix Rebhung, ahli biokimia dan lemak pangan khusus perikanan, dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang, dan Ferdi Tanone, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat secara terpisah, Kamis dan Jumat (17/6). Ferdi adalah aktivis yang sejauh ini gencar menggugat PTTEP Australasia, perusahaan patungan antara Thailand dan Australia sebagai pengelola eksploitasi ladang minyak Montara.
Ladang minyak Montara berlokasi di kawasan laut Celah Timor, sekitar 270 kilometer dari tepi utara Australia. Dilaporkan, lubang kebocoran berhasil ditutup kembali 80 hari kemudian setelah memuntahkan sekitar 40 juta liter minyak mentah yang mencemari Laut Timor hingga perairan di NTT.
Johny Leka dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba, Jumat, menyatakan, hasil tangkapan nelayan sejak 2009 terus merosot. Ini tecermin dari omzet ikan melalui PPI Oeba yang pada 2008 masih 1.736,155 ton. Selanjutnya, pada 2009 hasil tangkapan berkurang separuh menjadi 988,879 ton dan turun lagi menjadi 812,921 ton pada 2010.
Johny Leka tidak mengetahui secara persis apa penyebab merosotnya hasil tangkapan nelayan yang beroperasi di perairan sekitar Oeba hingga Laut Timor dan Laut Sawu. Meski belum didukung bukti kuat, ia menduga penyebabnya adalah pencemaran di Laut Timor akibat ledakan sumur minyak Montara.
Ferdi Tanone juga menuturkan, kalangan nelayan di Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, serta warga pesisir di Rote dan Sabu belakangan mengeluh terserang penyakit gatal-gatal. Sumber penyakit diduga dari laut yang tercemar tumpahan minyak dari sumur Montara.
”Selain kehilangan hasil separuh tangkapan, warga nelayan juga menderita gatal-gatal,” kata Ferdi.