Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aturan Orang Asli Papua untuk Siapa?

Kompas.com - 11/05/2011, 04:56 WIB

Menurut Yuliana Numberi, tokoh perempuan Papua Barat yang masuk tim perumus, raperdasus sarat kepentingan. Pembagian berdasarkan ”cap” orang asli Papua dan orang Papua malah berdampak panjang, yakni perpecahan dan keresahan antarwarga.

Peraturan itu berdampak pada penghilangan hak asasi manusia dari orang Papua oleh pemerintah daerah. Menurut Yuliana, yang perlu disusun adalah definisi tentang siapa saja suku-suku asli di tanah Papua, wilayah adat dan persebarannya, riwayat kekerabatannya, serta mekanisme atau proses seseorang dapat diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat.

Barnabas menegaskan, yang membedakan orang asli Papua dan orang Papua adalah hak mereka dalam mengatur negeri Papua. Keduanya memiliki hak untuk mengolah dan memanfaatkan semua hasil alam yang ada di tanah Papua. Namun, hanya orang asli Papua yang berwenang mengatur roda pemerintahannya di tanah ulayat milik orang asli Papua.

Gubernur Papua Barat Abraham O Atururi pun menolak raperdasus yang dinilai tidak proporsional dan tak mengacu pada UU Otsus. Abraham menyarankan agar raperdasus itu dikaji ulang, dibahas lebih matang dengan melibatkan pihak-pihak ahli.

Tarik-menarik perlu tidaknya, atau penting tidaknya perdasus tentang keaslian orang Papua menjadi pertanyaan khalayak umum. Siapakah yang diuntungkan dan yang dirugikan dari munculnya perdasus itu?

Pasangan Abraham O Atururi-Rahimin Katjong terancam karena Katjong dianggap bukan orang asli Papua. Pasangan ini didukung antara lain Partai Golkar, Demokrat, Gerindra, dan PPP dengan lebih dari 50 persen kursi DPR Papua Barat.

Pesaing lain adalah pasangan Dominggus Mandacan-Origenes Nauw, Wahidin Puarada-Herman Orisoe, dan George Celcius Auparay-Hasam Ombaier.

Menurut Rektor terpilih Universitas Papua (Unipa) Suriel Mofu, syarat keaslian orang Papua bukan syarat mutlak, tetapi dianggap wajar oleh masyarakat. Rakyat ingin putra daerah yang memimpin daerahnya karena dianggap lebih paham karakter, kondisi budaya sosial, dan permasalahan di daerahnya. ”Tak tertulis, tetapi hal yang wajar,” ungkap Mofu.

Namun, kata Mofu, pemimpin daerah juga harus pula memiliki visi membangun yang didasari karakter kuat, bisa memimpin, dan berkemampuan manajer. Pemimpin harus yang berkarakter agar bisa diterima seluruh lapisan masyarakat adat dan mampu membuat keputusan tepat membangun daerahnya.

Yang tak kalah penting, pemimpin harus memiliki jiwa manajer dalam pemerintahannya sehingga semua satuan dinas dan perangkat di bawahnya bekerja benar dan baik. ”Dari tingkat pendidikan, sudah banyak orang Papua berpendidikan tinggi dan punya kemampuan itu. Jauh dibandingkan 20-30 tahun lalu,” tambah Mofu.

Jadi, tidak 100 persen benar jika raperdasus tersebut dibuat karena orang Papua takut bersaing dengan pendatang. Papua kini memiliki sumber daya manusia yang bisa bersaing. Mereka hanya tak ingin identitas asli etnis Papua Melanesia tergerus dan hilang. Syarat orang asli Papua memang tetap dibutuhkan asalkan digunakan dengan bijak.

(Timbuktu Harthana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com