Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Citarum untuk Dunia...

Kompas.com - 29/04/2011, 10:51 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Menyusuri lekukan lembah Sungai Citarum di Tatar Priangan, pandangan tak akan terlepas dari kebun teh yang menghampar bak permadani hijau raksasa. Di sela-selanya, lenggak-lenggok perempuan bercaping sigap memetik pucuk-pucuk daunnya seolah berkejaran dengan mentari.

Berawal dari tetes keringat merekalah daun itu diolah hingga citarasanya termasyhur di berbagai belahan benua. ”Saya mah sudah jadi tukang petik daun teh sejak kecil. Turun-temurun dari zaman nenek saya,” tutur Euis (31), pemetik daun teh di Kebun Teh Kertamanah, akhir Maret lalu.

Kendati penghasilannya tak bisa dibilang cukup, menjadi pemetik teh tetap dilakoninya. Euis rata-rata bisa memetik daun sebanyak 15 kilogram per hari yang dapat ia tukarkan dengan uang Rp 10.000 karena upak petik teh hanya Rp 625 per kg. Dengan demikian, dia berpenghasilan Rp 300.000 per bulan. Beruntung suaminya, Nasrudin (35), bekerja sebagai salah satu mandor kebun teh dengan bayaran Rp 600.000 per bulan.

Dengan pendidikan yang relatif rendah, hanya tamatan SD, kebun teh menjadi gantungan hidup bagi Euis dan ribuan warga di sekitar areal perkebunan. Dan itu tak membuat mereka mengeluh. Seolah kebun teh dan pemetiknya telah direkatkan ikatan sosial budaya dan ekonomi sejak baheula.

Tanaman teh memang menjadi salah satu kekhasan Bumi Priangan sejak lebih kurang 200 tahun lalu. Kontur geografis yang mirip dengan asalnya di daerah pegunungan Assam, India, China, Myanmar, dan Thailand membuat daun teh di wilayah ini punya citarasa tinggi. Di hulu Citarum, perkebunan teh terhampar mulai dari Kecamatan Pangalengan, Ciwidey, Cipeundeuy, Cikalong Wetan, Gambung, hingga Pasirjambu.

”Pangeran teh”

Berkembangnya perkebunan teh di Tatar Sunda tak lepas dari tangan dingin para ”pangeran teh” yang sejak 1840-an mengembangkan perkebunan teh di lereng-lereng pegunungan di Priangan, mulai dari Sukabumi hingga Garut. Para pengusaha itu, antara lain GIJ van der Hucht (1844), Karel Federik Holle (1865), Adriaan Walrafen Holle (1857), RE Kerkhoven (1873), dan KAR Bosscha (1896).

Para pengusaha swasta Belanda ini dimungkinkan membuka perkebunan teh selepas dihapusnya masa tanam paksa (cultuur stesel). Selanjutnya Pemerintah Belanda pada 1870 mengeluarkan Undang-Undang Agraria yang membuka kesempatan seluasnya bagi pemodal swasta di sektor perkebunan.

Menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia Atik Dharmadi, para pengusaha swasta itu berhasil memperbaiki sistem perkebunan teh di Priangan pascatanam paksa dengan sistem yang lebih modern. Keberhasilan tersebut membuat GIJ van der Hucht, Karel Federik Holle, Adriaan Walrafen Holle, RE Kerkhoven, dan KAR Bosscha dijuluki para pangeran kerajaan teh di Priangan (de thee jonkers van Preanger).

Merekalah yang ”babat alas” ribuan hektar hutan untuk digarap menjadi kebun teh. Tercatat, pada 1930, dari 286 perkebunan teh di Pulau Jawa, sebanyak 249 kebun di antaranya berada di wilayah Priangan. Sejak itu, teh hasil perkebunan di Priangan mulai diekspor ke berbagai negara di benua Eropa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com