Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hilangnya Esensi Demokrasi

Kompas.com - 28/04/2011, 02:44 WIB

Edna C Pattisina

Pemilihan gubernur Papua periode 2011-2016 masih setengah tahun lagi. Jika tidak ada perubahan, pemilihan gubernur dijadwalkan pada 26 Oktober mendatang. Namun, spanduk dan baliho para calon telah berkibar-kibar mulai dari ibu kota Jayapura hingga kampung-kampung di wilayah perbatasan.

Ada beberapa nama yang telah mengibarkan dirinya lengkap dengan semboyan, potret diri, bahkan akun di Facebook. Mereka adalah Lukas Enembe yang saat ini menjadi Bupati Puncak Jaya, Klemen Tinal yang juga adalah Bupati Mimika, dan Bupati Jayapura Habel Melkias Suawe. Masih ada beberapa nama lagi yang beredar seperti Alex Hesegem yang kini Wakil Gubernur Papua, bahkan dikabarkan Gubernur Papua Barnabas Suebu pun belum keluar dari bursa calon kepala daerah.

Selain kemeriahan baliho di mana-mana, suasana sudah mulai panas. Padahal, selain nama wakil gubernur belum banyak disebut-sebut, partai yang akan mengusung para calon juga belum eksplisit mengelus-elus jagonya. Yang jelas, soal klaim pun muncul dalam berbagai bentuk.

Hal itu misalnya Lukas Enembe yang pernah mencalonkan diri lima tahun silam. Ia menyatakan mendapat restu dari DPP Partai Demokrat. Tak heran balihonya tersebar di mana-mana berdampingan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Calon-calon lain seperti Klemen dengan motonya ”Membangun Papua Mandiri” juga tidak ketinggalan mengadakan pertandingan voli ”Papua Mandiri Cup” dengan hadiah puluhan juta rupiah.

Pertanyaan mendasar tentunya, apakah kemeriahan ini sebuah bentuk pesta demokrasi untuk rakyat, bahwa gubernur terpilih punya komitmen terhadap konstituennya, atau sekadar ingar-bingar pesta sesaat? ”Hubungan calon dan pemilih selesai begitu pemilu selesai. Istilahnya beli putus,” kata pengamat politik Universitas Cenderawasih Bambang Sugiono.

Kalimat Bambang itu sejalan dengan hasil evaluasi 2010 oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP). Dalam laporannya, ALDP menyebutkan ada ketidaksiapan berdemokrasi dari partai politik. Politik uang sangat marak, bahkan sejak penentuan calon secara internal di partai hingga saat mobilisasi massa dan kampanye.

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menerima noken sebagai salah satu mekanisme pemilihan juga menjadi celah untuk politik uang. Pasalnya, mekanisme itu berarti menyerahkan hak suara pada ondoafi (kepala suku). ”Hanya orang-orang yang punya dana besar yang bisa ikut dan menang pilgub,” kata Latifah Anum Siregar, Ketua ALDP.

Massa pun menjadi apatis dan berorientasi pada kepentingan sesaat dan mengandalkan hubungan kekerabatan. Apalagi, dalam kehidupan sehari-hari, telah terlihat bagaimana para birokrat memiliki gaya hidup yang luar biasa mewah sejak mengucurnya dana otonomi khusus ke Papua sesuai Undang-Undang Nomor 21/2001.

Masyarakat kekurangan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com